My Opinion About The Book: "Ayah... (Kisah Buya Hamka)"
Judul: Ayah... (Kisah Buya Hamka)
Penulis: Irfan Hamka
Penerbit: Republika Penerbit
Tahun terbit: 2014, Oktober (Cetakan VIII)
Nilai (antara 1 sampai 9): 8,2
Cover:
Siapa yang tahu Buya Hamka? Banyak yang menjawab, itu adalah sebuah nama Universitas di Jakarta.
Mungkin hanya segelintir yang tahu dengan sosok dari masa lampau yang pernah
menjadi ketua MUI ini. Beliau adalah sosok ulama besar yang disegani dua
presiden pertama negara kita. Sempat dipenjara di akhir orde lama karena
hasutan salah satu partai. Pernah pula mengundurkan diri dari jabatan ketua MUI
karena mempertahankan keyakinannya. Ya, Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah adalah tokoh yang juga menulis karya “Di Bawah
Lindungan Ka’bah” dan “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk”. Dua karya besar yang
dibuat versi filmnya beberapa tahun terakhir ini, tentu lebih dikenal publik
daripada sosok penulisnya.
Siapa yang paling
mengenal Buya Hamka? Pastilah keluarganya. Maka dari itu, bapak Irfan Hamka sebagai
anak dari Buya Hamka, tak dapat diragukan lagi kompetensinya untuk menceritakan
kisah ayahnya sendiri. Melalui novel “Ayah...”, Irfan Hamka mencoba menggali
kembali nilai-nilai positif Buya Hamka semasa beliau masih hidup. Menggambarkan
keseharian Hamka yang mungkin tidak diketahui publik. Kemudian memperkenalkan
kembali nilai-nilai tersebut agar bisa diterapkan di masa kini. Dan menurut
gue, cara itu berhasil. Gue sendiri menjadi tertarik mencari literatur tentang Buya Hamka setelah membaca novel ini, untuk mencari nilai-nilai positif lainnya yang
dimiliki beliau.
Nilai positif
disini terutama dalam konteks agama Islam, tetapi tidak sedikit juga menyangkut
dengan pergaulan antar manusia sehari-hari, sikap politik, hingga komitmen dan
konsistensi dalam memegang teguh sebuah prinsip, yang bisa kita tiru. Sebagai
muslim, pastinya gue tertarik akan hal-hal tersebut buat dijadikan acuan dalam
perjalanan pribadi kehidupan gue. Tapi enggak sebatas disitu aja guys, masih
banyak sosok lain yang juga gue tarik nilai-nilai positifnya, dan akhirnya gue
konversi menjadi prinsip gue sendiri. Yang jelas, salah satu sosok yang
akhirnya gue kagumi, ya beliau ini. Sebuah efek dari baca novel ini doang loh.
Buku ini sangat
berguna buat yang mau tahu siapa sebenarnya Buya Hamka itu. Banyak yang tahu beliau
hanya sebatas penulis. Itu juga karena karyanya sering disebut-sebut dalam
pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah. Begitu juga cara gue mengenal sosok Buya Hamka. Lewat pelajaran Bahasa Indonesia. Di pelajaran tersebut gue tahu
yang namanya novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk” ditulis oleh beliau. Udah gitu aja. Sempat
juga gue denger dongeng Orang tua gue tentang beliau sebagai ulama besar, yang
selalu dinanti-nanti ceramahnya, sebelum datangnya masa da’i sejuta umat
almarhum KH Zainuddin MZ.
Sebuah biografi yang ditulis dengan alur cerita novel memang selalu memiliki nilai tersendiri. Entah ini karena emang gue dulu suka baca cerita fiksi, sehingga sekelumit sejarah hidup seorang tokoh pergerakan Indonesia yang ditulis dengan alur novel, oleh anak kandungnya ini, menjadi begitu menarik. Berbeda dengan buku-buku sejarah sekolahan yang terkesan kaku dan bikin ngantuk kalau dibaca. Mungkin pemerintah harus mulai mempertimbangkan buku-buku bahan ajar yang lebih menarik, terutama di bidang sejarah. Agar generasi muda kita ke depannya tidak kehilangan ruh patriotisme dalam kehidupan kesehariannya. Cuma usulan sih.
Comments
Post a Comment