My Opinion About The Book: "Mata Malam"
Judul: Mata Malam
Terjemahan dari: ‘Human Acts’, terbitan Changbi
Publishers, Inc., 2014
Penulis: Han Kang
Penerbit: Baca (PT Bentara Aksara Cahaya)
Penerjemah: Dwita Rizki
Tahun terbit: 2017, Oktober
Nilai (antara 1 sampai 9): 8,2
Cover:
Setelah lama menghilang
dari menulis review buku yang baru gue baca, kini gue balik lagi buat ngasih
tau kalian semua tentang buku-buku apa aja yang udah gue lahap selama beberapa
waktu ini. Kali ini gue coba menulis review novel “Mata Malam” karya Han Kang.
Blio adalah seorang penulis asal Korea Selatan yang di tahun 2016 lalu
memenangkan The Man Booker International Prize, mengalahkan penulis
Indonesia, Eka Kurniawan, lewat novel “Vegetarian”. Nanti deh gue bakalan
review novel tersebut. Kali ini gue bakalan bahas soal “Mata Malam” dulu, yang judul aseli dari sononya adalah “Human Acts”. Entah kenapa pemilihan judul “Mata Malam”
menurut gue amat cocok dengan nuansa novel ini, kasih aplaus buat pihak penerbit
karena telah memilih judul tersebut, dibandingkan dengan secara harfiah menerjemahkan
judul aselinya ke “Tingkah Manusia”, “Perilaku Orang” yang justru ngingetin gue
ke buku-buku kuliah teori humaniora.
“Mata Malam”
menceritakan peristiwa sejarah yang benar terjadi di Korea Selatan pada bulan
Mei 1980 di kota Gwangju. Awal perjumpaan kita dengan novel ini, disambut
dengan kisah seorang remaja anak SMP bernama Dong Ho, yang mencari karibnya Jeong
Dae, yang hilang dalam aksi massa yang berakhir ricuh pada pertengahan Mei
1984. Pencarian itu kemudian mengantarkannya ke Gedung Pemerintahan Daerah, di
mana sederet mayat korban penembakan pasukan militer tergolek menunggu
dikenali. Perlahan Dong Ho menguak ingatannya sendiri tentang kesaksiannya
melihat sang sahabat tertembak di tengah keramaian para pengunjuk rasa, tapi
dirinya tak bisa menyelamatkan sang sahabat karena dirinya takut tertembak.
Dong Ho pun pesimis
sahabatnya itu selamat. Demi menebus dosa, karena tak bisa menyelamatkan Jeong
Dae, sang remaja menjadi sukarelawan yang mengurusi mayat di Gedung
Pemerintahan Daerah, menemani dua perempuan muda, Eun Sook dan Seon Joo.
Seorang mahasiswa bernama Jin Soo menjadi pemimpin di antara para relawan yang
berada di sana. Kisah berlanjut lewat sudut pandang Jeong Dae yang bernasib
buruk di sebuah tempat misterius di atas bukit. Pada bagian ini, novel ini
benar-benar terasa kelabu. Menjadikan sosok yang telah wafat menjadi narator
menurut gue adalah hal biasa, tapi pertanyaan mengenai hidup dan mati yang
dilontarkan arwah Jeong Dae membuat alur cerita begitu sendu. Apalagi tentang
kekhawatiran Jeong Dae terhadap kakak perempuannya yang hilang, Jeong Mi, pada
peristiwa Mei tersebut.
Kemudian cerita
berlanjut pada nasib para relawan yang bertahan di Gedung Pemerintah Daerah sebelum
diserbu oleh pasukan militer di mana momen itu menjadi peristiwa pentup dari
tragedi Gwangju. Nasib Eun Sook, Seon Joo, dan Jin Soo, kemudian dikuak dengan
sangat apik, baik melalui penuturan mereka sebagai tokoh sentral, maupun lewat
pemaparan tokoh lain, yang kebetulan berada di lokasi yang sama. Beberapa
persitiwa kunci terkuak perlahan lewat kesaksian-kesaksian tokoh-tokoh
tersebut. Lantas dimanakah Dong Ho? Silakan baca sendiri novel ini. Novel yang
memunculkan kembali pertanyaan di benak gue: “Kemanakah rasa kemanusiaan aparat
militer kala dipaksa bertindak brutal seperti itu?” Pertanyaan yang juga muncul
kala membaca tragedi-tragedi kemanusiaan yang serupa di tanah air, dan hingga
kini tetap menggantung dalam benak gue, tanpa jawaban pasti.
Sebagai penulis
yang lahir di kota tersebut, Han Kang memiliki pengalaman personal terkait
tragedi tersebut. Beberapa nukilan cerita yang bisa jadi didapatkan dari sebuah
riset mendalam, atau cerita yang disampaikan dari mulut ke mulut, dirangkum
menjadi sebuah kisah yang melodramatis sendu abis berjudul “Mata Malam” ini. Uniknya,
ada satu bab dalam novel yang sepertinya, menurut gue, memang benar-benar
menceritakan perjalanan Han Kang menelusuri sejarah peristiwa tragedi tersebut,
meski dalam bab tersebut tak diceritakan siapa yang menuturkan cerita. Tokoh
itu hanya disebut sebagai sang penulis. Jadi, semua elemen, bab demi bab adalah
sebuah rangkaian cerita yang terkoneksi sedemikian rupa. Seolah membaca semacam
buku sejarah.
Nah, secara
kebetulan, beberapa saat setelah menuntaskan membaca “Mata Malam” ini, gue tak
sengaja bertemu dengan ulasan film Korea berjudul “A Taxi Driver” yang
menceritakan tragedi Mei 1980 juga. Pada awalnya gue nyari pilem-pilem Korea
yang masuk box office gitu, dan kemudian munculah film ini. Langsung aja gue
nongton itu pilem, dan alamaaaaak, merinding coy. Beberapa kali kalimat-kalimat
dalam novel “Mata Malam” kembali muncul di benak gue saat melihat beberapa
adegan dalam pilem tersebut. Beberapa adegan seperti mencomot narasi novel ke
dalam bentukj visual, yang membuat gue berkaca-kaca ngeliatnya. Nanti deh gue
bikin review tentang filmnya.
Indonesia
membutuhkan penulis yang mampu mengemas sejarah ke dalam kisah fiksi seperti
ini. Bukan gue merasa belum ada penulis tema sejarah seperti itu, justru udah banyak
malah. Namun, karya dari para penulis kisah-kisah sejarah yang udah gue baca, berasa
kurang ngena dari sisi menyentuh perasaan pembaca. Mereka terlalu berfokus pada
pergerakan tokoh-tokoh utama peristiwa sejarah, menawarkan fakta-fakta yang
memang bisa ditemukan pada buku-buku teks sejarah sejak usia sekolah dulu. Terlalu
masuk ke dalam cerita, hingga terlalu detail, memunculkan pertanyaan: “Ah, masa
begini?”. Bahkan pada beberapa karya, pertanyaan itu muncul berkali-kali, dan
justru malah ganggu. Memang ada pengecualian pada karya-karya mbah Pram dan
Leila S. Chudori, tapi selain itu, cuma masuk kategori lumayan ajah~
Comments
Post a Comment