My Opinion About The Book: "Gadis Pemberontak"
Judul: Gadis Pemberontak, Perjuangan Seorang Gadis Muslim
Melawan Takdir di Tanah Rantau
Terjemahan dari: ‘The Writing on My Forehead’ terbitan
Williams Morrow an imprint of Harper Collins Publishers, 2009
Penulis: Nafisa Haji
Penerbit: Literati (Penerbit Lentera Hati)
Penerjemah: Alan Taufiq Hidayat
Tahun terbit: 2010, Juli
Nilai (antara 1 sampai 9): 7,3
Cover:
Pertama kali liat
buku ini, gue tertarik dengan tulisan besar di covernya yang berwarna merah
menyala: Gadis Pemberontak. Wah, sepertinya menarik. Kemudian tulisan kecil di
bawah judul besarnya bikin gue makin penasaran sama buku ini. Perjuangan
seorang gadis muslim melawan takdir di tanah rantau, begitu katanya. Ternyata
buku tersebut adalah sebuah novel, yang memang benar menceritakan apa yang terpampang
di judulnya. Meski sisi religi dari cerita novel ini hanya dikupas sedikit aja.
Novel ini bercerita
tentang seorang gadis bernama Saira Qader yang tinggal di Amerika Serikat
bersama dengan keluarganya yang kebetulan berasal dari Pakistan. Mereka hijrah
ke negeri Paman Sam untuk menghindari konflik yang saat itu terjadi antara
India dan Pakistan.
Bersama
keluarganya, Saira berusaha menyasuaikan diri beradaptasi dengan kultur western
yang ada. Orang tua Saira selalu menekankan bahwa mereka harus menjaga
kelestarian budaya yang mereka bawa dari timur. Mereka menanggap Amerika
Serikat hanyalah persinggahan sementara untuk menjauhkan diri dari konflik
politik India – Pakistan. Hingga tercipta stabilitas politik, India atau
Pakistan akan menjadi rumah keluarga mereka kelak.
Harapan hanyalah
harapan. Waktu membawa keluarga kecil Pakistan tersebut akhirnya menetap di AS.
Akulturasi menjadi hal yang sulit untuk dibendung. Pergaulan ala barat jadikan
Saira menjadi remaja yang terbuka, dan mendapat sudut pandang baru mengenai
hidup. Sebuah kebebasan yang banyak orang bilang sebagai “american dreams”.
Kebebasan yang akhirnya berbenturan dengan kultur timur dan Islam yang ia
dapatkan di rumah.
Ibu dari Saira
selalu memberi peringatan terkait aturan agama dan budaya timur kepada
anak-anaknya. Saira sendiri memiliki saudara perempuan yang bernama Ameena,
yang sepertinya selalu menjadi kebanggaan dari sang Ibu. Hal ini tidak lain
karena Ameena lebih menaati aturan yang diberikan ibunya. Tidak seperti Saira
yang keras kepala.
Saira menjadi pribadi yang membangkang, dan
memilih menikmati masa mudanya sebagai gadis Amerika. Hingga akhirnya sebuah
peristiwa setelah tregedi 11 September 2001 mengubah sudut pandangnya tentang
kehidupan. Kematian saudara kandungnya menjadi titik tolak bagaimana
pendewasaan diri Saira. Gimana lanjutannya, baca aja sendiri.
Sebuah gambaran
tentang kultur barat dan timur yang selalu saja menuai konflik. Nafisa Haji,
seorang pengarang keturunan Pakistan yang kebetulan hidup di Amerika Serikat,
menerjemahkan konflik tersebut dengan baik. Mungkin kisah ini adalah sebuah
pengalaman pribadi yang ia alami sendiri, sehingga kisah novel ini terasa
begitu hidup. Sebuah bacaan yang bisa menjadi referensi tentang gambaran
konflik yang mungkin bermanfaat bagi kita sebagai bangsa berkultur timur, yang
sudah sangat kebarat-baratan. Mungkin kita bisa rasakan sendiri konflik
tersebut ketika suatu saat nanti berkunjung ke dunia barat.
Oh iya, kenapa
akhirnya gue ngasih nilai 7,3 doang, itu karena gue serada enggak sreg aja sama
judul terjemahan yang secara garis besar kurang ngegambarin isi dari novel
tersebut. Sementara judul aslinya lebih masuk aja gitu kalo menurut gue. Semoga
bermanfaat.
Comments
Post a Comment