Lanjutin Soal Merdeka
Hufff, akhirnya gue
bisa nulis lagi. Welcome back guys, setelah hiruk pikuk drama politik Indonesia
yang mengisi hari-hari kita di 2014 ini, gue akhirnya bisa fokus lagi nulis.
Meski apa yang bakalan gue tulis sepenuhnya hanya sebuah opini pribadi,
mudah-mudahan ada manfaatnya buat siapapun yang udah mampir di blog gue yang
sederhana ini.
Oh iya, terkahir
kali gue nulis itu tentang kemerdekaan. Itu Cuma tulisan iseng sih, tapi
sepertinya mesti dilanjutin deh, biar enggak bikin penasaran. Sebenernya sih
siapa juga yang penasaran, kayak ada yang baca aja blognya hehehe...
Gue cuma pengin
memperbaharui ulang aja tentang yang namanya merdeka. Meskipun udah jauh dari
bulan Agustus, tapi toh kemerdekaan – katanya – masih bisa dirasain sampe saat
ini. Itu juga bagi yang ngerasa sih, karena masih banyak penjajahan yang
terkamuflase di kehidupan sehari-hari kita. Bener enggak?
Proklamasi negeri
ini menjadi salah satu simbol perlawanan bangsa kita terhadap penjajahan.
Bangsa Indonesia pada saat itu menyatakan diri sebagai negara yang berdaulat,
merdeka dari segala penindasan yang dilakukan oleh bangsa lainnya. Hal yang
secara simbolik kita rayakan setiap tahun sebagai hari kemerdekaan Republik
Indonesia setiap tanggal 17 Agustus.
Tetapi semakin hari
makna kemerdekaan semakin memudar, seperti sang saka merah putih yang dijahit
Ibu Fatmawati dulu (sok tau dikit). Simbol benar-benar menjadi hanya sebatas
simbol. Upacara peringatan kemerdekaan hanya sebatas momen menggugurkan
kewajiban semata, bahkan pengisi upacara terkesan terpaksa mengikuti upacara
tersebut, kecuali buat anggota Paskibra yang terlihat semangat banget waktu
jadi petugas upacara. Ini beneran gue lihat sendiri di alun-alun daerah tempat gue
tinggal.
Ini bukan soal
justifikasi, gue hanya bicara fakta. Sementara dahulu jutaan nyawa melayang
demi menolak penindasan, kini semua masa lalu itu seolah cerita fiksi yang
sedang coba dibuat ke dalam sebuah film epik kolosal aja gitu. Yah, mungkin
masyarakat Indonesia memang mudah untuk move on, dan akhirnya mudah melupakan
masa lalu yang kelam.
Wajar sih, jarak
waktu yang berpuluh tahun mungkin membuat anak jaman sekarang enggak bakalan
tau apa yang terjadi di masa penjajahan dulu. Tapi apa emang kita udah enggak
dijajah lagi saat ini? Puluhan tahun berlalu, ternyata penjajahan masih hadir
secara nyata. Dimana? Dalam keseharian kita kok, lokasi paling mudah diliat –
pasti semua orang pernah lewat – di lampu merah perempatan jalan besar.
“Lampu merah?
Maksudnya gara-gara lampu merah, kita enggak bisa merdeka seenaknya nerobos
perempatan gitu?” ujar seonggok makhluk yang tiba-tiba muncul di tulisan gue.
(-_-“)
Enggak gitu juga.
Ini soal rakyat miskin kota yang taraf hidupnya masih rendah, sehingga mereka
enggak bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya dengan layak. Merdeka dari
penjajahan bangsa asing masih membuat mereka memohon belas kasihan dari para
pengguna kendaraan bermotor yang singgah sejenak di lampu merah tersebut.
Seolah-olah mereka hidup di negeri lain yang masih mengalami penjajahan, enggak
bisa ngerasain apa itu kemerdekaan.
“Itu konsekuensi
bung! Selama mereka tidak memiliki skill untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
dengan pekerjaan yang layak, miskin adalah resikonya. Hidup itu keras!” timpal
makhluk itu lagi.
Hmm...skill ya?
Skill itu akan didapat melalui pendidikan. Sementara, kaum miskin kota tadi
boro-boro mikirin pendidikan, mikirin besok makan apa aja udah mumet bro.
Pendidikan sekarang mahal, dan banyak juga orang yang berpendidikan pun hidup
enggak layak di negeri ini. Intinya ber-skill pun, kita belum tentu merdeka.
“Pendidikan juga
butuh biaya lah, wajar dong mahal?! Tenaga pendidik juga butuh makan, butuh
uang buat menghidupi keluarganya sob! Masa anak guru juga mesti nangkring di
lampu merah?!” kata si makhluk ngeselin.
Pendidikan yang
layak itu adalah kewajiban negara, sesuai dengan salah satu tujuan NKRI yang
tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Seharusnya
pemerintah mampu memberikan pendidikan yang layak dan terjangkau oleh rakyat
kecil. Tapi pendidikan sepertinya enggak nyentuh sama sekali kulit rakyat
miskin kota tadi.
“Itu sih masalah
pemerintahan yang baru, bukan urusan gue. Gue udah milih mereka, berarti gue
percaya kalo mereka kompeten buat mikirin masalah yang beginian...” sambung
makhluk yang entah dari mana datangnya ini...
Eh lu siapa sih?
Kok nongol melulu? Menuh-menuhin tulisan gue aja?!
Gini yah, meskipun
emang bener itu tugas pemerintah, apa salahnya kita sebagai warga negara
Indonesia yang udah ngerasa merdeka membantu kerja pemerintah?! Minimalnya
sebagai rasa terima kasih kita terhadap founding fathers negara ini, yang udah
rela berkorban nyawa demi kemerdekaan. Toh, semestinya kita bersyukur udah
lahir di masa sekarang ini, bukan dimasa penjajahan. Kita enggak perlu ngeliat
bule keluyuran bawa-bawa bedil, terus tiba-tiba nembakin kita di rumah kita
sendiri.
“Iya sih...terus
makna kemerdekaan yang coba lu perbaharui kayak gimana? Ini pertanyaan terakhir
ya...gue janji abis ini gue bakalan cabut dari tulisan lu.” ujar si makhluk pengganggu.
Tadi udah gue coba
kasih gambaran, kira-kira hal apa yang bisa kita lakuin dalam memaknai kemerdekaan. Enggak
sekedar ikutan upacara tiap 17 Agustus, tapi ikut berperan serta mempercepat
keberhasilan target NKRI. Membantu program pemerintah yang positif, sekaligus
mengawal jalannya roda pemerintahan dari hal-hal negatif, kayak korupsi gitu.
Supaya enggak ada lagi warga negara Indonesia yang enggak ngerasain apa yang
namanya merdeka. Jelas?!
*seketika hening*
Kayaknya udah dulu
deh nulisnya, udah mau ujan. Semoga bisa ketemu lagi...
Comments
Post a Comment