"BBM Yang Cuma Di Read..."
“Kasian angkutan
umum. Udah mah jarang ada penumpangnya, ongkosnya terpaksa naik gara-gara harga
bensin naik. Makin jarang aja penumpangnya kalo gitu”
Polemik kenaikan
harga BBM Bersubsidi terus menerus berulang. Berganti pemerintahan solusi yang ditawarkan
selalu sama, meminta bantuan masyarakat untuk meringankan beban anggaran negara.
Dengan naiknya BBM senilai dua ribu rupiah, sama artinya kayak kita patungan
dua rebu ewang buat nambahin duit pemerintah yang kurang, supaya bisa beli BBM
ke toko minyak.
Pemerintah kali ini
coba mengurangi subsidi dari sektor konsumtif ke sektor produktif seperti
pembangunan infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan. Hal yang juga menjadi
alasan dari pemerintahan sebelumnya ketika menaikan harga BBM bersubsidi. Tetapi
apa yang dulu terjadi adalah pengalihan subsidi tersebut seperti tidak ada
dampaknya sama sekali di masyarakat. Pembangunan tetap berjalan lambat,
sementara kualitas layanan kesehatan dan pendidikan masih dibawah harapan.
Pemerintah berharap
naiknya BBM bersubsidi juga akan memperlambat habisnya stok BBM nasional. Bertambahnya
pengguna BBM, membuat stok BBM nasional harus meningkat setiap tahunnya. Hal
ini memberatkan anggaran belanja negara kita, karena pemerintah setiap tahun
terus mengeluarkan banyak uang, yang jumlahnya dari tahun ke tahun semakin
meningkat hanya untuk beli minyak doang.
Tapi lucunya, negara
malah mendorong masyarakat untuk membeli kendaraan pribadi. Adanya kebijakan
mobil LCGC (Low Cost Green Car) yang membuat harga mobil menjadi murah, juga
dengan adanya kredit motor dimana-mana, masyarakat berlomba-lomba membeli
kendaraan pribadi. Ditambah dengan masih tidak layaknya fasilitas kendaraan
umum yang ada di Indonesia, mobil murah dan motor laris manis di pasaran. Semakin
banyak kendaraan, justru konsumsi BBM masyarakat semakin tinggi dong?
Lagian, dengan
mobilitas masyarakat dengan kendaraan yang semakin tinggi, justru akan memicu
masyarakat untuk terus membeli BBM berapapun harganya. Kebutuhan berkendara
akan membuat konsumsi BBM masih tinggi. Kalo menurut gue sih gitu, ga tau deh
kalo menurut yang lain. Logikanya, kalo stok BBM pengin diirit-irit, ya mahalin
dong harga mobil sama motornya, naekin pajaknya juga buat kendaraan-kendaraan
mewah artis, pengacara, dan koruptor. Mahalnya harga kendaraan, membuat orang
mikir-mikir buat punya mobil. Akhirnya kendaraan yang turun ke jalan semakin
sedikit. Ini juga jadi solusi buat mengatasi kemacetan di kota-kota besar kan?
Bantuan langsung
yang diberikan pemerintahan yang lalu – yang menurut gue sebagai kompensasi
yang enggak produktif – lagi-lagi menjadi solusi jangka pendek pemerintah untuk
rakyat miskin. Bantuan langsung kayak gini justru memotivasi banyak orang untuk
mengaku miskin. Sementara sistem pendataan yang ada di masyarakat tau sendiri
lah yah, mana yang layak dibantu dan mana yang enggak sepertinya mudah
“disesuaikan”. Bantuan senilai ratusan ribu per bulan memang membantu, tapi
sampai kapan rakyat kita diperlakukan seperti pengemis?
Dan sepertinya
masyarakat kita senang menjadi peminta-minta. Kalo pun pemerintah pengin banget
ngasih bantuan ke rakyat miskin, kenapa enggak aparat pemerintahan yang
blusukan langsung ke rumah-rumah warga miskin bagi-bagi bantuan, sehingga jelas
siapa yang layak menerima bantuan dari pemerintah. Miris banget ngeliat warga
miskin – apa lagi yang udah tua renta – yang mesti dateng jauh-jauh ke kantor pos buat ambil bantuan.
Saat harga BBM naik
maka harga bahan makanan akan berangsur naik. Itu udah jadi rumus yang umum
kayaknya. Kenapa naik, karena harga ongkos transportasi naik. Sementara segala
kebutuhan rumah tangga yang ada di pasar-pasar diangkut dari berbagai tempat
dengan alat taransportasi yang menggunakan BBM bersubsidi. Naiknya harga semua
barang kebutuhan pokok, membuat bantuan langsung dari pemerintah jadi terasa
amat sangat sedikit membantu aja, enggak ngebantu banget.
Balik lagi ke
kalimat yang gue kutip di awal tulisan.
Semenjak maraknya motor dan mobil murah, angkutan umum darat menjadi sedikit
peminat. Alesan orang beli kendaraan pribadi sih biasanya – selain karena
kebutuhan – biar gampang kemana-mana kapan aja, karena kendaraan umum enggak
semuanya bisa beroperasi setiap saat. Kedua karena naek kendaraan umum
kadang-kadang enggak aman, dan lebih aman kalo pake kendaran pribadi. Sekedar
bukti kalo kendaraan umum kadang enggak aman, gue juga pernah ilang handphone
di angkot tahun 2007 lalu.
Gue sempet liat di
media (Kompas Siang 18/11) Ketua Organda Indonesia, Ibu Lorena – gue inget
namanya gitu aja, karena nama salah satu perusahaan bus terkenal yang kayaknya punya dia
– bilang “kalo emang pemerintah kepengin semua pengusaha kendaraan umum
transportasi darat bangkrut, sudah seharusnya BBM dinaikan”. Sebuah keluhan
yang keluar secara natural dari mulut seorang ibu pengusaha angkutan.
Kenaikan
BBM sudah pasti akan memaksa para pengusaha angkutan untuk menaikan tarif
ongkos penumpang, untuk menekan kerugian perusahaan. Ketika ongkos naik,
konsumen pun akan semakin sedikit, dan lagi-lagi beralih ke kendaraan pribadi,
atau nebeng sama temen.
Mulai dari angkot, bus, truk, pengiriman paket
tiki-JNE, nyampe pengusaha online bakalan kena imbasnya. Bukan enggak mungkin
bakalan ada perusahaan yang bangkrut gara-gara naiknya harga BBM ini. Hal
inilah yang seharusnya dipikirin juga sama pemerintah.
Seharusnya emang
ada strategi dari pemerintah agar biaya transportasi ini tidak merugikan kedua
belah pihak, baik pengusaha maupun pengguna kendaraan umum. Hal ini bertujuan
agar perusahaan enggak tekor, dan pengguna jasa transportasi umum juga
meningkat. BBM mahal dan harga ongkos kendaraan umum yang lebih murah dan
nyaman, otomatis akan mengurangi volume penggunaan kendaraan pribadi.
Untuk mencapai
tarif transportasi umum yang murah adalah dengan tidak menaikan harga BBM
bersubsidi untuk kendaraan umum. Tinggal, cara distribusinya aja yang harus
dipikirin supaya tepat sasaran. Bisa aja caranya dengan dibangun pom bensin
khusus kendaraan umum, atau tiap perusahaan kendaraan umum membuat pos
pengisian BBM sendiri. Atau apa kek gitu...
Harga minyak dunia
yang lagi turun menjadi dilema lain kenaikan harga BBM bersubsidi kali ini.
Alasan yang biasanya dikeluarkan pemerintah: “harga minyak dunia naik dan
membebani anggaran untuk membeli BBM ke toko minyak” kali ini enggak bisa
dipake. Dengan anjloknya harga minyak dunia, justru anggaran belanja negara
kita seharusnya diuntungkan. Kelebihan anggaran sudah selayaknya bisa dialihkan
ke sektor yang lebih bermanfaat bagi masyarakat kecil. Mudah-mudahan sih
seperti itu.
Nah, hal yang masih
gue bingungin adalah tentang kualitas dari BBM bersubsidi itu sendiri. BBM bersubsidi
yang biasa disebut premium itu, katanya sih udah enggak banyak diproduksi di
dunia karena mengandung nilai oktan yang rendah (RON 80). Nilai oktan rendah
berarti emisi gas buang alias polusinya cenderung tinggi dan enggak baik buat
lingkungan. Sementara itu, mesin mobil yang beredar di pasaran saat ini umumnya
lebih cocok dengan bahan bakar jenis pertamax (RON 92) atau pertamax plus (RON
95) yang kadar polusinya lebih rendah.
Kenapa pemerintah
bela-belain beli BBM berkualitas rendah yang bisa ngerusak mesin sekaligus
ngerusak lingkungan?
Kenapa subsidi BBM
enggak dialihkan buat beli pertamax atau pertamax plus gitu, biar masyarakat
bisa menikmati BBM yang lebih berkualitas, dan enggak ngerusak lingkungan?
Kenapa pemerintah enggak sekalian aja ngilangin premium dari muka bumi Indonesia ini?
Toh gue pikir, kalo
pemerintah bisa beli BBM yang berkualitas bagus dengan harga yang mahal,
masyarakat akan melihat itu sebagai suatu hal yang wajar. Daripada dapet barang
jelek tapi harganya mahal. Pemerintah sebetulnya dibodohi atau bodoh beneran?
Apa emang seneng aja gitu dibegoin toko minyak?
Entahlah, semoga
ada penjelasan yang logis soal itu. Kalo emang harga BBM sudah dirasa
memberatkan, silahkan berpindah menggunakan Whatsapp atau Line. Mudah-mudahan
pendapat gue ini bermanfaat.
*soundtrack: Clean Bandit feat. Jess Glynne - Rather Be*
Kalo mau berdiskusi dan ngasih saran, silahkan
komentar atau cari gue di twitter di akun @Ficrey.
Comments
Post a Comment