Elegi Hujan

Hujan.

Fenomena unik dimana ribuan bahkan jutaan tetes air berjatuhan dari langit menghantam apapun yang ditemuinya di muka bumi.

Sains memberikan keterangannya atas fenomena hujan. Semua terjadi dengan sistematis mulai dari proses aliran sungai menuju laut, kemudian air menguap ke udara, proses kondensasi, kemudian kembali lagi jatuh ke bumi. Itulah proses ilmiah yang kita kenal tentang hujan.

Benturan yang terjadi antara air yang jatuh dengan cepat karena efek gravitasi dan permukaan bumi, menimbulkan suara gemericik yang indah. Seperti suara riuh tepuk tangan dalam sebuah akhir pertunjukan musik, seakan dunia bergembira menyambut turunnya hujan.

Rasa.

Entah kenapa hujan seakan dapat memicu kita untuk lebih peka. Hujan memainkan perannya sebagai alat pemutar memori yang menghadirkan kembali kilasan masa lalu. Membangkitkan rasa, perasaan atas sesuatu yang telah kita lupa.

Untuk yang sedih dan dirundung rindu yang akut, hujan seakan mewakili pahitnya kisah mereka. Seolah-olah alam semesta turut berkabung atas derita yang mereka rasa. Semakin deras hujan, maka kesedihan akan semakin mendalam.

Hujan, hujan, dan hujan, terus memberi inspirasi kepada seniman. Rangkaian kata dalam nada-nada minor mudah tercipta ketika hujan tiba, yang lagi-lagi tentang rasa.

Berbagai aroma rasa muncul di kala hujan. Semua makhluk merasa diwakili oleh fenomena alam tersebut. Ketika ia reda, pelangi datang. Seakan menjadi janji yang kekal bahwa setelah sedih akan datang kebahagiaan.

Sebuah kebahagiaan untuk bunga dan dedaunan yang didera kehausan. Bagi tumbuhan yang hanya berdiam diri, tak mampu bebas bergerak, hujan adalah sebuah keberkahan yang tak terkira nilainya.

Bagi petani yang tanah garapannya menderita kekeringan, hujan turun berikan kebahagiaan. Menjadi pertanda bagi mereka untuk memulai kembali bercocok tanam. Membangkitkan lagi mimpi meraup rejeki saat panen tiba nanti.

Kilatan petir dan angin kencang ketika hujan berubah menjadi badai, menggambarkan amarah sang Pencipta akan keangkuhan ciptaan-Nya. Banjir dan longsor menjadi akibat yang nyata dari keangkuhan manusia yang tak dapat berhenti merusak alam.

Hujan, masih ingatkah engkau ketika aku menatapmu dari balik jendela?

Hatiku mengutuk kehadiranmu pada saat itu, karena kau datang di saat yang tidak tepat.

Namun aku tak mampu mengubah kutukan itu menjadi sebait kata karena rasa kagumku padamu.

“Karena aku selalu suka sehabis hujan di bulan Desember...” Begitu ucap Efek Rumah Kaca.

Rasa kagumku lebih dari itu. Lebih dari 31 hari yang ada di bulan itu.

Desember.

Comments

Popular posts from this blog

My Opinion About The Book: "Mata Malam"

My Opinion About The Book: "The Blackside: Konspirasi Dua Sisi"

My Opinion About The Book: "Gadis Pemberontak"