Mati, As Simple As That


MATI. Ya...mati. Sebuah kata yang membuatku takut. Sebuah kata yang tidak sepele. Mati, sebuah kata berdaya magis besar, sakral, dan tak bisa sembarang dipakai. Ketika berpikir tentang kata tersebut, seketika bulu kuduk merinding.

Agama yang memperkenalkan diriku pada kata tersebut. Setiap yang bernyawa pasti akan mati. Mati mempunyai persamaan kata yang beragam. Meninggal, tewas, gugur, wafat, adalah padanan kata yang disematkan kepada makhluk hidup apapun yang mencapai batas waktu terakhirnya di dunia.

Ketika selesai sosok yang aku perankan, hari sudah tidak membutuhkanku lagi. Mati adalah akhir kisahku di bumi ini. Jasad membeku, terbujur kaku, tak mampu berucap, apa lagi berbuat. Diam, diiringi tangisan hingga ke liang lahat. Klise, tapi setiap orang pasti akan mengalami hal tersebut.

”Pernah kepikiran enggak sih, kalo tiba-tiba kita mati saat ini juga?”

“Gue sih pernah. Jujur aja, gue belum siap.” Ujarku.

Belum siap untuk meninggalkan semua orang yang ku kenal, yang ku sayang.

Belum siap, karena masih banyak cita-cita dalam hidupku yang belum tercapai.

Belum siap, karena aku belum sempat mengelilingi dunia tempatku berpijak.

Belum siap, karena merasa belum cukup bekal yang dimiliki untuk berhadapan dengan ajal.

Sebagai muslim, ku percaya setelah mati akan ada hari pembalasan. Hari ketika bekal iman dan amal perbuatan baik akhirnya ditimbang. Lebih atau kurangnya nilai sebuah kebaikan akan dihitung, bersua dengan konsekuensi yang harus ditanggung.

Mungkin karena aku manusia, makhluk yang dianugerahi akal, sehingga selalu berpikir kurang. Manusia memang tak pernah puas adanya. Ketika waktuku berakhir, itulah saatnya Allah berkata cukup. Tapi manusia memang terlalu angkuh, sehingga memikirkan banyak alasan untuk menghindari akhir yang datang menjemput, seraya berucap: “belum siap.”

Saking angkuhnya, aku ingin hidupku berakhir dalam keadaan baik. Semakin tua semakin sukses. Lahir sehat, muda suka ria, tua kaya raya, mati masuk surga, as simple as that. Bahkan caraku meninggal pun, aku ingin dengan cara yang baik. Tapi, siapa aku di mata Allah?

Ketika maut seseorang sudah digariskan. Coba sembunyi dimanapun malaikat maut akan datang menjemput. Mati di waktu yang telah dituliskan oleh-Nya. Dengan cara apa? Bagaimana rasanya mati itu? Proses kematian begitu menakutkan, entah apa yang terjadi di hari itu.

Lubang satu kali dua meter akan menjadi ruangku berkontemplasi. Kamar hingga hari pembalasan tiba. Sebuah ruang evaluasi atas baik tidaknya perananku selama hidup di dunia, tanpa bisa mengulanginya kembali. Menyesal? Sudah pasti. Film sudah selesai. Tinggal aku sendiri di ruang sempit tanpa sempat berdiskusi dengan pemeran lainnya.

Maka dari itu, sebelum penyesalan tiba marilah berbuat baik. Peranan manusia di dunia sebetulnya sangat mudah. Cukup taati perintah-Nya dan jauhi larangan-Nya, jika mau percaya. As simple as that.

Ditulis setelah mendengar adzan ashar.

Comments

Popular posts from this blog

My Opinion About The Book: "Mata Malam"

My Opinion About The Book: "The Blackside: Konspirasi Dua Sisi"

My Opinion About The Book: "Gadis Pemberontak"