Sebuah Motivasi

Tahun 2015 sudah memasuki bulan ketiga. Ada apa sih di tahun ini?

Eksistensi.

Semua orang sepertinya membutuhkan eksistensi untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia telah menjadi bagian dari kehidupan. Itulah yang terjadi setiap tahunnya. Tak berhenti, terus bergulir tahun demi tahun. Sebuah sifat manusiawi.

Siapapun memiliki caranya sendiri dalam memperlihatkan eksistensi dirinya.

Ada yang dengan gagah berani menjadi seorang pahlawan di tengah-tengah masyarakat di mana ia hidup. Dengan menjadi sosok penolong, berjiwa kemanusiaan, dermawan, dan berusaha sekuat tenaga untuk membantu sesama yang sedang mengalami kesusahan. Bak superman yang mengandalkan kekuatan fisiknya untuk melindungi sesama, selalu ada sosok heroik di lingkungan keseharian kita. Sosok relawan, yang menggambarkan segi positif dalam kehidupan. Memberikan harapan bagi banyak orang yang membutuhkan.

Ada yang mencitrakan dirinya sebagai sosok antagonis. Bukan tokoh antagonis yang biasa kita temui di cerita sinetron. Sosok yang selalu berlagak seram, dengan mata melotot, alis terangkat tinggi, senang bergumam dalam hati dengan penuh dendam, serta berbicara dengan nada suara tinggi. Bukan itu. Sosok ini melainkan sosok yang ingin selalu menjadi antitesis dari apa yang sudah menjadi sebuah custom dalam kehidupan timur yang kita anut. Bahkan, sering mendobrak suatu dogma yang sudah tertanam di dalam benak masyarakat secara umum.

Dare to be different, semboyan yang selalu diagungkan oleh sosok antagonis ini. Style berbeda, yang di beberapa kesempatan, sebagian orang menyebutnya seorang freak. Melakukan apa yang sebetulnya tidak sesuai dengan norma yang berlaku. Stigma buruk, juga teguran, sering terucap dikarenakan oleh gaya unik mereka. Aneh sih, akan tetapi, menjadi sah saja di alam demokrasi seperti sekarang ini. Sosok antagonis yang satu ini justru bisa sangat bermanfaat. Sebagai pendobrak sistem yang telah lama dipegang teguh oleh masyarakat secara umum.

Kreatif.

Tak sering dari sosok-sosok berbeda ini muncul paradigma yang berbeda. Hal yang menjadi pemikiran baru. Kemudian berkembang dalam sebuah komunitas, yang akhirnya bergerak untuk menciptakan tata aturan yang berbeda. Kadang terselip kata riskan melihat sesuatu yang baru, yang terbentuk dari tangan-tangan jahil seperti ini. Ketakutan akan benar atau salah, takut akan gesekan dengan komunitas kehidupan lainnya yang terlebih dahulu ada, ketakutan yang selalu menghantui masyarakat ketimur-timuran.

Sebetulnya menjadi sebuah hal penting, ketika norma-norma masyarakat yang kita tahu dari pelajaran PPKn di sekolah dulu, menjadi salah satu pisau analisis untuk melahirkan sebuah pemikiran yang berbeda. Namun, norma dengan sendirinya luntur, dihempas detergen yang bernama globalisasi. Ini sebuah hal baik atau buruk? Tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Yang jelas, arus informasi terkait hal-hal baru dalam kehidupan, antara satu manusia dengan manusia lainnya, semakin banyak diterima. Satu hal yang tadinya tidak terpikirkan sama sekali. Terima kasih untuk internet.

Eksistensi yang lain hadir dalam bentuk karya. Hasil pemikiran dengan dasar kegelisahan, dibingkai dalam sebuah tulisan. Tulisan bisa berupa sajak, puisi, protes, propaganda, agitasi, lirik, cerpen, hingga sebuah novel. Semua bergantung pada kesanggupan sang penulis. Sejauh mana ia bisa berpikir, sejauh apa dia bermain dengan imajinasi. Dan biasanya yang satu ini eksistensinya bisa sustainable. Bahkan, beberapa karya baru mendapatkan apresiasi secara besar-besaran ketika si penulis telah tertidur lelap di liang lahat. Sebuah bentuk eksistensi yang unik.

Kekal.

Siapa yang tak mau akan kekal? Keabadian merupakan sebuah keinginan. Dokumentasi akan pemikiran itu sangat penting, bagi kekekalan ide itu sendiri. Di era teknologi ini, banyak fasilitas pendukung yang hadir untuk membantu eksistensi sebuah pemikiran. Bukan hanya untuk publikasi, yang kemudian menuai untung seperti kisah negeri sihir Harry Potter. Itu hanya sebuah keberuntungan yang hadir dalam garis tangan manusia. Tulisan justru sebagai refleksi akan kemampuan berpikir kita. Sebagai alat ukur sampai mana ketajaman pemikiran kita. Dari sebuah tulisan kita bisa tahu apa yang sedang dialami sang penulis.

Tulisan adalah jalan manusia menuju keabadian.

Berpikir itu gratis kok. Jadi, mari kita maksimalkan segenap pikiran, untuk menciptakan sesuatu. Paling tidak, kita telah coba memakai otak kita untuk berpikir. Mari kita penuhi 2015 ini dengan tulisan.

*tulisan ini dibuat sebagai motivasi untuk diri pribadi*

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

My Opinion About The Book: "Mata Malam"

My Opinion About The Book: "The Blackside: Konspirasi Dua Sisi"

My Opinion About The Book: "Gadis Pemberontak"