Nasi Kotak Untuk Bapak (Sebuah Cerpen)
Guys, di bawah ini adalah sebuah cerpen karya gue yang gue coba kirim buat ngikutin lomba Writing Heroes yang diadain akhir 2014 lalu. Judulnya sesuai dengan judul postingan blog ini: 'Nasi Kotak Untuk Bapak'. Alhamdulillah, berkat cerpen ini gue dapet kesempatan buat nulis buku, yang sekarang masih dalam proses pembuatan. Semoga gue semakin produktif dalam menulis. Silahkan dibaca...
Pagi
ini, semua sudah dipersiapkan. Nasi hangat, ayam goreng yang baru saja matang,
ditambah tumisan tempe dan kacang panjang, disatukan dalam sebuah kotak karton
yang telah disediakan. Tidak lupa diselipkan satu gelas air mineral beserta
sedotannya ke dalam kotak tersebut. Puluhan dus nasi kotak sengaja dibuat pagi
ini, untuk dibagikan kepada orang-orang kurang mampu yang terpaksa tinggal di
jalanan kota Serang, provinsi Banten.
Baru
menginjak 14 tahun provinsi Banten berdiri, permasalahan ibukota provinsi
sepertinya dimana-mana sama saja. Roda nasib manusianya seakan tak bisa
mengimbangi roda kemajuan pembangunan sebuah ibukota provinsi. Rakyat miskin
kota justru muncul di jantung-jantung pembangunan. Mereka melakukan aktivitas kesehariannya
di jalan, tidur di emperan ruko-ruko baru yang seolah tak mampu berhenti dibangun.
Setiap satu tarikan nafas mereka, seolah seketika itu juga muncul satu bangunan
baru menjejali kota.
Terkadang
aku pun heran dari mana datangnya orang-orang ini. Tetapi di tiap ibukota
provinsi, terutama di pulau jawa, sepertinya hal ini selalu terjadi.
Orang-orang dari luar kota dengan kemampuan seadanya, mencoba mempertaruhkan
nasib seakan kota memberikan harapan cemerlang bagi masa depan mereka. Penduduk
asli di kota tersebut yang memiliki keterbatasan dalam kemampuan untuk
bersaing, turut memadati riuhnya kota.
Orang-orang
tersebut kemudian berujung pada pertaruhan nyawa di jalanan kota. Ada yang
meminta-minta, mengamen, menjadi pemulung, kuli pasar, macam-macam pekerjaan
akan mereka geluti selama itu bisa menyambung hidup hari demi harinya. Bahkan
tindakan melanggar hukum pun mereka lakukan selama itu bisa menjamin
keberlangsungan hidup mereka. Sungguh miris keadaan kota-kota besar di negeri
ini.
Atas
dasar itulah aku dan teman-temanku ingin sedikit mengurangi beban mereka yang
hidup di jalanan. Sudah hampir enam bulan, aku bersama teman-temanku membagikan
nasi kotak bagi siapapun yang kami temui di jalanan. Sehari dalam seminggu,
kebanyakan di hari Jum’at, kami turun ke jalan untuk membagikan sedikit rezeki
yang kami dapat. Rasa kemanusiaan dan perintah agama menjadi landasanku untuk
turut serta dalam kegiatan ini.
“Sudah
siap semua?” Tanyaku kepada teman-temanku.
“Siap.
Tinggal berangkat kita...” Jawab salah satu temanku.
“Kalau
begitu, marilah...” Ujarku penuh semangat.
Puluhan
dus nasi kotak yang sudah siap kemudian diangkut kedalam mobil pick up yang terparkir di depan rumah
salah satu temanku, tempat nasi kotak tersebut dipersiapkan. Kami pun mulai
berkeliling kota. Pagi ini, aku dan tiga orang temanku yang mendapat giliran bertugas
untuk berkeliling membagikan makanan tersebut. Kami berangkat pada pukul setengah
enam pagi, berharap semua makanan yang kami bawa habis dibagi.
Ada
beberapa tempat yang sudah biasa kami kunjungi setiap minggunya, dan di lokasi
tersebut selalu saja ada orang-orang kurang mampu yang siap menyambut kami
dengan berbagai keluhan yang seakan tiada habisnya. Seolah bagai dewa penolong,
mereka pikir aku dan teman-temanku mampu memberikan solusi bagi keluh kesah
yang mereka ceritakan.
Di
dekat sebuah swalayan ternama mobil kami berhenti. Ada tujuh orang yang kurang
beruntung yang kami lihat masih tertidur di sebuah halte, di samping swalayan
tersebut. Empat diantara mereka adalah anak kecil yang seharusnya bisa tidur
dengan nyaman di rumah. Ya, rumah. Mungkin anak-anak tersebut memimpikan rumah,
sebuah hunian nyaman yang hanya bisa mereka ketahui dari sinetron televisi.
Atau jangan-jangan halte ini adalah gambaran rumah dalam pikiran mereka.
Dengan alas
tidur seadanya, empat orang anak, dua lelaki dan dua anak perempuan, beserta
tiga orang dewasa. Satu bapak dan dua orang ibu, berbagi alas untuk tidur di
halte tersebut. Kami pun segera menghampiri mereka dengan membawa tujuh dus
nasi kotak yang sudah kami siapkan. Aku berinisiatif untuk membangunkan si
bapak terlebih dahulu. Seorang bapak yang tampak tua, berpakaian lusuh, terlihat
lemah tetapi tetap tegar. Ketegaran yang didapati dari kerasnya hidup di
jalanan.
“Pak,
bangun pak...” tegurku dengan nada lembut.
Tiba-tiba
si bapak terbangun. “Mmmmh... iya, ada apa?” tanya si bapak.
Dalam
hati, aku merasa bersalah membangunkan bapak tersebut dari tidur nyenyaknya.
Siapa tahu dalam tidurnya, beliau sedang bermimpi tentang hidup nyaman, penuh
kesenangan, beda dengan kenyataan yang dia alami. Tapi mau bagaimana lagi, ada
sebuah amanah yang harus kupenuhi. Berbagi rezeki dengan si bapak.
“Ini
pak, kami mau ngasih sarapan ini buat bapak. Mudah-mudahan bapak menerima,
meski tak seberapa.” Jelasku.
“Oh iya?!
Alhamdulillah! Makasih ya dek... Terima kasih.” Jawab si bapak tersebut.
“Semua
yang masih tidur ini masih keluarga sama bapak?” Tanyaku sambil melihat ke arah
enam orang lainnya.
“Iya,
yang itu istri dan tiga anak saya... Terus yang satu lagi sama anak perempuannya
sudah saya anggap saudara. Kita hidup di jalanan bareng-bareng selama setahun.”
Jelasnya sambil membuka kotak nasi yang aku berikan.
Lalu
aku mengajak si bapak untuk duduk di bangku salah satu sisi halte, agak jauh
dari tempat tidur si bapak tadi, agar tidak mengganggu keluarganya yang masih
lelap tertidur. Aku duduk di samping si bapak. Kulihat betapa lahapnya si bapak
memakan makanan yang aku berikan. Membuat rasa lapar sedikit mengusik sadarku.
“Enak
sekali makanannya dek.” Ucap si bapak sambil terus menyantap makanan tersebut.
“Habiskan
dulu makanannya pak, baru kita ngobrol lagi.” Jawabku sopan.
“Saya
bangunin keluarga saya dulu ya, biar makan bareng-bereng. Sekalian ngucapin
terima kasih sama adek.” Balasnya.
“Enggak
usah pak, biarin mereka tidur aja. Kayaknya mereka tidurnya nyenyak, mungkin
mimpinya indah. Hehehe.” Jawabku lagi.
“Iya
juga... Kasihan mereka, cuma bisa tidur di pinggir jalan. Mimpi indah mungkin
satu-satunya harta berharga yang masih mereka punya.” Urai si bapak. Tanpa sadar
mata si bapak memandang kosong ke arah depan, seolah mengungkap penyesalan.
Kebetulan
halte di dekat swalayan tersebut adalah pemberhentian terakhir kami pagi ini.
Tujuh kotak nasi sudah kami bagikan. Ada sisa empat kotak lagi, yang akhirnya oleh
temanku diberikan kepada empat orang petugas kebersihan yang sedang bekerja di
depan swalayan. Setelah semua bungkusan nasi habis dibagikan, teman-temanku
datang menjemputku.
“Yuk,
kita pulang bro... Tugas hari ini beres, alhamdulillah.” Tegur temanku dari
atas bak terbuka mobil pick up yang
kami gunakan.
“Duluan
aja. Gue masih mau ngobrol nih sama bapak ini.” Jawabku spontan. Entah kenapa,
tatapan penyesalan si bapak membuatku ingin menemaninya berkeluh kesah lebih
lama lagi.
“Oh,
pagi pak... Enak makannya? Maaf kalo kami cuma bisa ngasih seadanya.” Sapa
temanku sambil berpindah duduk dari bak mobil pick up ke jok mobil yang ada di depan, di sebelah kiri tempat
duduk supir.
“Oalaah,
si adek bisa aja. Makanannya enak kok. Bapak yang harus minta maaf sudah
ngerepotin kalian.” Jawab si bapak polos.
“Tenang
saja pak, kita enggak ngerasa direpotin kok. Syukurlah kalau bapak merasa
makanannya enak.” Ucap temanku.
“Oke, kita
pulang duluan ya...” Lanjut temanku yang lain sambil mengendarai mobil.
Perlahan mobil pick up tersebut
berjalan menjauhi halte.
“Alhamdulillah,
bapak kenyang ini dek. Makasih ya makanannya.” Ucap si bapak sambil membuang
kotak karton nasi beserta gelas plastik air mineral yang telah habis
diminumnya, ke dalam tempat sampah yang terletak di samping halte.
“Sama-sama
pak.” Jawabku singkat.
“Pak,
kalau tidak keberatan, saya mau tanya...” Lanjutku pelan.
“Silahkan.
Adek mau tanya bapak apa saja, bapak siap jawab. Itung-itung sebagai rasa
terima kasih bapak sama adek.” Jawab si bapak bersemangat. Sepertinya sarapan
nasi kotak yang kubawa tadi berhasil membangkitkan semangat si bapak. Wajahnya
yang lusuh tadi kini terlihat segar dan lebih muda.
“Maaf
sebelumnya, bapak asli Serang? Atau pendatang?” Tanyaku.
“Oh,
kalau itu sih... Saya itu asli sini. Tapi semenjak menikah sepuluh tahun lalu,
saya pindah ke Jakarta.” Jawab si bapak.
“Sekarang
tinggal disini? Kenapa enggak tinggal di rumah bapak?” Tanyaku kemudian.
“Wah...
Adek kayaknya penasaran sama saya. Hehehe.” Jawab si bapak sambil tertawa lepas.
“Begini
pak, kalau bapak keberatan sama pertanyaan saya, enggak perlu dijawab kok...”
Jelasku.
“Hehehe...
Enggak apa-apa kok dek. Bapak enggak keberatan sama sekali.” Potong si bapak.
“Jadi,
saya kerja di Jakarta jadi kuli bangunan. Sampai kira-kira dua tahun lalu saya
berhenti kerja karena alasan kesehatan...” Lanjutnya.
“Setahun
bertahan hidup di Jakarta tanpa penghasilan, akhirnya saya mutusin pulang
kampung. Hidup di ibukota sangat berat dek... Beda sama disini.” Jelas si
bapak.
“Maaf
pak, kalau lebih ringan hidup disini... Kenapa bapak tidur di halte? Punten ya
pak, enggak ada maksud buat menyinggung.” Pertanyaan ini tiba-tiba terlintas
dalam pikiranku. Tanpa sadar aku mengucapkannya begitu saja, tanpa memikirkan
perasaan si bapak. Seketika diriku menyadari kesalahan yang telah aku perbuat.
“Hehehe...
kalau menurut saya, sekarang ini lebih enak dek. Disini bisa tidur dimana saja,
bebas. Enggak takut dimintain duit sama preman, enggak takut diusir.” Jawab si
bapak, tanpa terlihat tersinggung.
“Jadi
orang miskin di Jakarta itu susahnya minta ampun. Cari emperan untuk tidur saja
susah... Setiap lahan ada premannya. Cuma gelar alas aja, langsung diminta
duit. Kalau enggak, baru gelar langsung diusir...” Lanjutnya lagi.
“Oohh
gitu. Hmmm... Parah juga ya?! Ibukota memang kejam, begitu kata orang pak. Hehehe...”
Jawabku sekenanya.
Gurat
ketegaran si bapak terlihat lebih jelas dari sebelumnya, seolah si bapak sedang
berusaha mengingat-ingat apa yang telah terjadi dalam hidupnya di masa lalu.
Sepertinya banyak peristiwa berat yang pernah dialami si bapak beserta
keluarganya ketika hidup di Jakarta. Mungkin pertanyaan-pertanyaanku memaksa si
bapak mengingat banyak hal pahit yang coba dilupakannya. Oh, betapa bodohnya
aku.
“Kenapa
dek?” Tanya si bapak yang heran melihatku termenung.
“Enggak
apa-apa pak. Maafin saya sudah banyak tanya.” Jawabku.
“Hehehe...
Kan saya sudah janji mau jawab semua pertanyaan adek. Lagian sudah lama enggak
ada orang yang ngajak saya ngobrol pagi-pagi begini...” Ucapnya.
“Hehehe...
Maaf ya pak.” Aku ulangi lagi perkataan itu karena rasa bersalahku kepada si
bapak.
“Mau
saya lanjutin lagi ceritanya?” Tanya si bapak.
Sepertinya
beliau memang sangat ingin bercerita saat ini. Sudah lama si bapak kehilangan
teman berbagi cerita. Mungkin juga ini pengaruh makan ayam goreng di waktu pagi,
membuat orang yang memakannya menjadi semangat bercerita. Seperti naluri ayam
yang senang berkokok di pagi hari. Tanpa sadar aku tersenyum memikirkannya.
“Silahkan
pak...” Jawabku sambil tersenyum.
“Jadi...
Setahun lalu saya mutusin buat pulang kampung ke Serang sini. Ternyata Serang
udah jadi ibukota. Saya enggak tahu sama sekali. Hehehe...” Jelas si bapak.
“Terus
bapak enggak pulang ke rumah bapak?” Tanyaku penasaran.
“Saya
pulang... Tapi semua sudah berubah...” Jawab si bapak. Kemudian beliau terdiam
sejenak, memandang ke arah langit.
“Maksudnya?
Berubah gimana pak?” Tanyaku heran.
“Pas
saya pergi ninggalin rumah berangkat ke Jakarta, orang tua saya waktu itu baru
saja meninggal...” Si bapak mulai bercerita dengan raut muka yang serius.
“Saya
hanya tinggal bersama kakak saya di rumah, dan satu-satunya harta peninggalan
orang tua saya ya... Tinggal rumah itu...” Lanjutnya.
“Terus saya
kawin... Berangkat ke Jakarta modal
nekat, berharap bisa dapet kerjaan, dapet uang demi ngidupin istri saya...”
Lanjutnya lagi.
“Rumah
di Serang, saya percayain sama kakak saya. Sampai kemudian dia meninggal tiga
setengah tahun lalu...” Penjelasan si bapak terhenti, seolah apa yang akan
beliau ucapkan kemudian adalah hal terberat yang pernah terjadi di dalam
hidupnya.
“Peninggalan
satu-satunya tersebut akhirnya direbut sama adik dari almarhum orang tua saya
dek...” Lanjutnya kemudian.
“Loh,
memang almarhum orangtua bapak enggak nyimpen tanda bukti kepemilikan rumah
itu?” Tanyaku sambil memperhatikan wajah si bapak dengan serius.
“Surat
tanahnya ada, itu warisan kakek saya buat orang tua saya dulu... Cuma pas kakak
saya meninggal, saya telat dapet beritanya... Jadi surat tanah itu keburu
diambil mamang saya” Jelas si bapak dengan sedikit berkaca-kaca.
“Jadi,
pas bapak pulang setahun lalu rumah itu diisi sama mamang bapak?” Tanyaku
penasaran.
“Bukan
hanya itu... Saya baru tahu kalau kakak saya meninggal , ya... Waktu tahun
kemarin itu dek...” Jawab si bapak dengan nada suara bergetar, seakan menahan
sedih.
“Astaghfirullah...”
Cuma satu kata itu yang bisa aku ucapkan saat mendengar jawaban beliau.
“Tentang
meninggalnya kakak saya, dan soal rumah... Baru saya tahu waktu saya pulang ke
Serang sini dek” Jelasnya lagi, sambil menahan rasa sedih yang kini hadir
kembali. Sedih yang dulu dirasakannya saat mendengar berita kehilangan saudara
kandungnya. Kehilangan peninggalan orang tuanya.
Aku tak
sanggup berkata sepatah katapun. Penyesalanku muncul. Semua penderitaan si
bapak yang coba dilupakannya, seolah hadir kembali memenuhi pikiran beliau. Ini
semua salahku, ujarku dalam hati.
“Waktu
itu, sertifikat rumah sudah atas nama mamang saya dek. Pas saya datang ke rumah,
saya disuruh pergi buat nyari rumah lain...” Lanjut si bapak.
“Saya
bingung, kenapa mamang saya kok begitu... Ternyata rumahnya sudah mau dijual
lagi... Mamang saya cuma kepengin cari uang saja. Dia takut kalau ada saya,
rumah itu bakalan jadi sengketa...” Lanjutnya lagi.
“Jelas
saya enggak ikhlas dek. Itu peninggalan satu-satunya dari orang tua saya. Waktu
itu saya bela-belain pulang dari Jakarta, cuma buat balik lagi kesitu...” Jelas
si bapak.
Aku
bingung harus memberi komentar apa terhadap cerita si bapak. Aku hanya
menganggukan kepalaku tanda mengerti apa yang sedang diceritakannya.
Kemudian
si beliau kembali melanjutkan ceritanya. “Rumah itu sudah jadi milik orang lain
dek, sekarang malahan rumahnya sudah dibongkar. Kata orang sih disitu mau
dibikin ruko...” Cerita si bapak.
“Bapak
enggak coba untuk ambil hak bapak? Lapor pihak berwenang atau...” Belum selesai
aku bertanya, si bapak sudah menjawabnya.
“Enggak
dek. Saya mana ngerti hukum. Enggak tau mesti lapor sama siapa dek... Mana saya
kan orang yang enggak punya.” Jawab si bapak polos.
“Saya
cuma bisa ikhlas... Mungkin rumah itu bukan rejeki saya... Lagian, saya kan
sudah enggak tinggal disitu beberapa tahun.” Terang si bapak lagi.
“Setelah
tahu semuanya, saya dengan keluarga langsung pergi dari rumah tersebut. Waktu
itu, saya enggak tahu mesti pergi kemana...” Raut muka tegar si bapak nampak
semakin jelas ketika ia melanjutkan ceritanya.
“Beruntung
saya bertemu ibu itu dek...” Sambil menunjuk ke arah sosok perempuan yang masih
tertidur di samping istrinya.
“Dia
menolong saya sama keluarga saya. Ngajak saya tinggal di gubuknya di dekat
stasiun kereta Serang.” Jelasnya lagi.
“Untungnya
pak ya, masih ada yang nolong...” Balasku dengan kata-kata yang tiba-iba muncul
di pikiranku saat itu. Entah kenapa, apa yang dirasakan si bapak melalui
ceritanya, terasa sendiri olehku. Seakan aku yang mengalami kisah penderitaan
tersebut. Sungguh kasihan nasib si bapak, ucapku dalam hati.
“Terus,
kenapa bapak dan semuanya malah tidur di halte ini? Kenapa enggak pulang ke
stasiun?” Tanyaku kemudian.
“Nah,
kalau itu sih enam bulan lalu... Pemerintah kota ngerobohin semua bangunan liar
di dekat stasiun dek. Satpol PP yang robohin... Kita semua diusir.” Jawab si
bapak.
“Dari
sejak itu saya sama mereka semua yang ada disini, jadi tidur di jalanan...”
Jelas si bapak lagi.
“Sabar
ya pak.” Ucapku lirih.
“Adek
jangan sedih begitu... Saya meskipun enggak tahu sampai kapan hidup di jalanan
kayak begini, tetap yakin kok. Semua pasti berubah.” Ujar si bapak dengan wajah
berseri-seri. Nampak jelas dia sedang menutupi kesedihannya, dengan sedikit
keyakinan atas harapan, yang mungkin iapun tahu bahwa harapan tersebut nyaris
mustahil.
“Mudah-mudahan
pak. Insyaallah, semua akan berubah.” Timpalku sambil tersenyum.
“Amin.
Mudah-mudahan dek. Saya minta do’anya saja.” Jawab si bapak singkat.
Hening
kemudian menyelimuti kami berdua di bangku halte itu. Mentari mulai bersinar
terang dari arah timur kota. Kendaraan mulai banyak berlalu lalang, menandakan
pagi berjalan begitu cepat menghampiri siang. Jam tangan yang kupakai
menunjukan hampir jam tujuh pagi. Tak terasa waktu berlalu cepat di pagi ini.
Aku yang harus melakukan aktivitas pada jam delapan pagi nanti, terpaksa
menyudahi obrolanku dengan si bapak.
“Pak,
saya mesti pergi. Sekarang sudah jam tujuh, saya masih disini. Sementara jam
delapan saya harus sudah di kantor.” Jelasku.
“Oh ya
sudah... Maaf ya sudah merepotkan. Makasih loh nasinya. Pagi ini saya jadi kenyang
dek. Enggak biasanya... Hehehe.” Sahut si bapak.
“Enggak
apa-apa kok. Justru saya yang senang pagi ini bisa ngobrol sama bapak. Saya
pergi dulu ya pak.” Jawabku sambil berpamitan.
“Lain
kali kita ngobrol lagi ya dek. Mudah-mudahan enggak disini. Di rumah baru saya.
Hehehe...” Terang si bapak sabil sedikit bergurau.
“Hehehe...amin
pak, amin.” Jawabku singkat. Mengamini harapan si bapak akan rumah barunya
kelak yang semoga menjadi kenyataan.
Dengan
sedikit mencondongkan badan aku memberhentikan sebuah angkot yang lewat di
depan halte tersebut. Setelah memberitahu sopir arah tujuanku, kemudian aku naik
ke dalam angkot. Aku sengaja duduk di kursi paling belakang, di dekat kaca
belakang angkot tersebut. Agar aku bisa memandangi si bapak beserta keluarganya
di halte yang baru saja kutinggalkan.
Terlihat
si bapak kemudian membangunkan istri, anak-anaknya, serta seorang ibu dan anak
yang telah menolongnya satu tahun yang lalu itu. Si bapak mulai memberikan nasi
kotak yang aku dan teman-temanku bagikan tadi pagi. Nampak dari kejauhan raut
haru dari istri si bapak. Mudah-mudahan semua bantuan yang kami berikan
bermanfaat, ujarku dalam hati sambil terus menatap mereka.
Ingin
sekali aku mengajak mereka semua untuk datang ke rumahku, tinggal bersamaku.
Akan tetapi keinginan itu kemudian terhapus oleh bayanganku tentang amarah
orang tuaku yang mungkin muncul, wujud ketidak setujuan mereka dengan niat
baikku tersebut. Apa daya, aku belum mampu membantu secara maksimal. Kalau
begitu, mesti tunggu aku jadi Presiden dulu. Gurauku dalam hati.
Semoga
suatu saat nanti aku bisa membantu lebih dari ini. Amin.
Nah, segitu aja tulisan cerpen gue. Kalo ada yang mau komen, monggo. Mudah-mudahan setelah pada baca cerpen di atas, temen-temen bisa dapet inspirasi buat nulis juga.
Sampai jumpa lagi. @Ficrey
Comments
Post a Comment