Hubunganku yang Tak Seberapa dengan Bank Nasional Indonesia

Apa yang aku ketahui tentang BNI?

Pertanyaan itu yang muncul pertama kali di benakku, ketika memutuskan untuk mengikuti lomba menulis blog yang diadakan oleh salah satu bank milik pemerintah tersebut.

Bank Negara Indonesia, bank yang telah hadir berpuluh-puluh tahun dalam kancah perbankan nasional. Umurnya yang hampir setara dengan umur republik ini, telah terbukti dalam memperlihatkan stabilitas bank tersebut, dan juga telah menunjukan kekuatan dalam menghadapi berbagai masalah ekonomi yang pernah hadir di Indonesia ini.

Krisis ekonomi pernah melanda Indonesia di fase lima tahun terakhir di abad 20. Tahun-tahun penuh tragedi. Era reformasi, yang mencuat meneriakan harapan baru akan sebuah negeri yang lebih baik lagi, lebih maju, adil, dan sejahtera.

Dimanakah BNI pada saat itu?

Sosok BNI yang masih bertahan hingga saat ini, membuktikan bahwa bank tersebut berhasil melepaskan diri dari jerat krisis pada saat itu.

Aku sendiri turut mengalami apa yang terjadi ketika krisis moneter melanda negeri ini. Kusaksikan lewat televisi, ada beberapa bank milik pemerintah yang menyerah menghadapi krisis di tahun 90-an tersebut. Bank yang akhirnya diakuisisi, bank merger dengan bank lainnya, ada juga bank yang menyatakan berhenti dari perputaran roda ekonomi NKRI.

Sayangnya aku belum cukup mengerti apa itu keadaan moneter, apa itu kebijakan fiskal, dan kenapa nilai tukar mata uang kita harus bergantung pada Dollar Amerika Serikat. Namun, aku mengerti tentang harga bahan pokok yang terus melambung tinggi, yang kudengar dari keluhan Ibuku setiap kali beliau pulang dari pasar. Aku mengerti tentang stabilitas politik yang terganggu, karena Presiden yang itu-itu saja. Begitu setidaknya menurut para pengamat politik, dan berbagai demonstrasi mahasiswa pada saat itu.

Masih ada cerita lain tentang BNI. Setelah beberapa saat kuperhatikan, nama bank BNI selalu bergandengan dengan angka 46 di sebelahnya. BNI 46 terkesan seperti JKT 48, kumpulan huruf dan angka yang biasa bernyanyi dan menari beramai-ramai.

Timbul pertanyaan, angka sakti apakah itu?

Apakah pada awal didirikan, sang pendiri bank nasional ini percaya dengan hal-hal mistis, misalnya dengan angka keberuntungan. Empat dan enam ketika dijumlahkan akan menghasilkan angka sepuluh. Sebuah nilai terbaik dalam indikator penilaian yang umum digunakan di Indonesia. Nilai sempurna itukah yang ingin digapai oleh BNI?

Ternyata 46 adalah tahun dimana Bank Negara Indonesia ini dilahirkan. Bank Negara Indonesia lahir pertama kali pada 5 Juli 1946. BNI juga pernah menjadi Bank sentral pertama negara kita, dan Oeang Republik Indonesia (ORI), dicetak dan diedarkan oleh BNI pertama kalinya pada tanggal 30 Oktober 1946. Sebuah kisah manis di masa lalu.

Masa lalu.

Sekelumit masa lalu tiba-tiba muncul dalam pikiran ini disaat aku sedang berpikir apa yang harus kuceritakan tentang Bank Negara Indonesia ini?

Aha!

Ketika diterima sebagai salah seorang mahasiswa jurusan teknik arsitektur di Semarang, aku pernah membuat sebuah rekening BNI yang akhirnya hilang entah kemana. Waktu itu, hal yang paling aku ingat adalah tentang mudahnya syarat membuat rekening BNI ketika menjadi mahasiswa baru. Kemudahan membuat rekening tabungan di BNI cabang Tembalang tersebut sunggu berkesan bagiku hingga tak bisa aku lupakan. Itu pengalaman pertamaku membuat sebuah rekening tabungan di bank. Tiba-tiba memoriku meredup tentang hal tersebut.

Ceceran memori tentang masa laluku kembali mencuat. Ingatan tentang bagaimana BNI berhasil menyelamatkan hidupku di saat lapar tiba, di masa hidupku saat menjadi mahasiswa.

Ini kisahnya.

Tahun 2003 awal aku menjadi seorang mahasiswa di kota Bandung, setelah melepas status kemahasiswaanku di Semarang. Tempat tinggalku tidak jauh dari kampus Universitas Padjadjaran (Unpad) yang terletak di jalan Dipatiukur, di daerah Sekeloa tepatnya. Di kawasan kampus tersebut pertama kali aku melihat sebuah ‘istana megah’ tempat dimana hidupku akhirnya sering bergantung padanya.

Sebuah gerai anjungan tunai mandiri (ATM) dengan berbagai nominal uang yang terdapat dalam mesin ATM tersebut. Bahkan, beberapa nominal baru kusaksikan pada saat itu. ATM dengan nilai uang lima ribu rupiah, sepuluh ribu rupiah, dua puluh ribu rupiah, melengkapi nominal lima puluh ribuan yang sudah tak asing lagi bercengkrama dengan mesin penyimpan uang tersebut. Tak disangka-sangka, hingga beberapa tahun kemudian, hidupku sangat bergantung pada ATM dengan nominal-nominal minim ini. Sebuah kebijakan unik dari BNI yang tidak pernah ditiru oleh bank-bank lainnya. Maka dari itu, kusematkan julukan ‘istana megah’, karena kehadiran gerai ATM BNI dengan nominal rupiah minim tersebut seperti istana yang memberi banyak kemudahan bagi rakyatnya. Mungkin terdengar berlebihan. Tetapi ketika sisa saldo tabunganmu hanya sebesar 20 ribu rupiah, kau akan mengerti maksud dari julukan ‘istana megah’ tersebut.

Jujur saja, ATM dengan nominal kecil tersebut sangat membantuku. Membantu menguras tabunganku setiap bulannya, demi memenuhi kehidupanku sehari-hari, hingga bertemu bulan berikutnya. Kebijakan BNI untuk membangun gerai ATM dengan nominal rupiah kecil di dekat kampus, sangat membantu kelangsungan hidup banyak mahasiswa. BNI yang memiki cabang di seluruh Indonesia ini tak bisa dipungkiri lagi telah menyediakan kemudahan tersendiri bagi mahasiswa perantauan yang datang dari pelosok negeri, khususnya dalam ketepatan kiriman uang setiap bulannya.

Sudah menjadi hal yang lumrah, ketika kiriman uang untuk mahasiswa perantau sepertiku datang terlambat. ‘Istana megah’ ATM BNI yang terletak di lingkungan kampus Unpad tersebut rutin aku kunjungi setiap kalender menyentuh tanggal 20-an. Kupilih ATM BNI dengan nominal uang terkecil, berharap ada sisa-sisa tabungan yang bisa kuambil. Namun, tak sedikit pula hal tersebut hanya bisa menghasilkan kekecewaan.

Sisa saldo dalam tabungan anda tidak cukup.” Begitulah sang mesin ATM berujar padaku.

Aku keluar dari gerai ATM dengan kecewa. Wajah berseri yang sengaja kupasang saat memasuki ATM mendadak hilang. Pulsaku tak cukup untuk mengirim sebuah pesan singkat kepada orangtuaku di Pandeglang. Untungnya, masih ada sahabat senasib yang juga merasakan apa yang kurasakan. Terkadang kami mengunjungi ATM BNI secara beramai-ramai, memeriksa saldo tabungan kami secara bersama-sama, dan kemudian saling mertawakan sisa saldo tabungan yang hanya terdiri dari dua hingga empat digit angka saja. Sebuah pengalaman yang selalu kuingat. ‘Istana Megah’ yang memberi kebahagiaan meski aku sudah tak memiliki uang sepeserpun.

Kuharap gerai ATM BNI Unpad Dipatiukur masih ada. Suatu saat akan coba aku kunjungi kembali, demi mengingat memori bahagia yang pernah ada disana. Itulah kisahku yang tak seberapa.


Semoga BNI tetap menjadi bank yang memberikan terobosan unik demi kepuasan nasabahnya. Seperti yang aku rasakan saat menikmati kemudahan mendapatkan uang, dengan cara memanfaatkan gerai ATM BNI bernilai nominal rupiah kecil dulu. 

Comments

Popular posts from this blog

My Opinion About The Book: "Mata Malam"

My Opinion About The Book: "The Blackside: Konspirasi Dua Sisi"

My Opinion About The Book: "Gadis Pemberontak"