Mahasiswa Absurd (Chapter 4)

Semakin malam, keadaan rumah kontrakan gue semakin ramai. Kita berlima mengisi waktu dengan duduk bersama di teras rumah. Ruang terbuka yang ada di hadapan rumah kontrakan menjadi lokasi favorit buat ngabisin waktu malam. Biasanya sih kita isi waktu luang tersebut dengan ngobrol sambil nyanyi bareng. Diiringi permainan gitar akustik Rendi tentunya. Cuma Idan yang kita larang keras untuk menyumbangkan suara di momen tersebut. Hal tersebut memang terkesan tidak demokratis, tapi itu semua adalah bentuk preventif untuk menghindar dari teguran tetangga yang nantinya mungkin akan terganggu oleh merdunya suara Idan. Merdu, menurut Idan sendiri, tapi tidak bagi orang lain yang hidup di muka bumi.

Oh iya, sebelum gue lanjutin ceritanya, gue mesti gambarin dulu gimana bentuk rumah kontrakan yang gue isi bersama dengan empat orang sahabat gue ini. Rumah ini berukuran kira-kira sebesar 50 meter persegi, dengan luas lahan sedikit lebih besar dari bangunan. Kelebihan lahan tersebut menjadi halaman depan rumah kontrakan, dengan sebuah pohon mangga berdiri kokoh disana. Pohon buah yang mencerminkan keramahan tanah pasundan. Tipe rumah yang gue tempatin sebetulnya rumah kuno yang sudah mendapatkan sedikit renovasi pada fasadnya, hingga terkesan seperti rumah modern minimalis yang lagi ngetrend gitu deh.

Rumah tersebut berisi beberapa ruangan. Dua kamar tidur yang enggak luas-luas amat, cukup nyaman sebagai tempat beristirahat. Satu kamar berisi tiga kasur busa ukuran single bed, yang kalau di waktu siang ditumpuk jadi satu agar ruangan terlihat lebih luas. Itu juga kalau di kamar enggak ada yang tidur siang sih. Sementara itu, satu kamar lainnya berisi beberapa lemari kecil yang digunakan untuk menyimpan pakaian, peralatan mandi, juga perlengkapan pribadi kita berlima.

Tak lupa, ada sebuah toples kaca ukuran sedang, yang kita sulap jadi celengan. Celengan tersebut berisi uang yang kita gunakan untuk kebutuhan bersama. Misalnya buat bayar listrik tiap bulan, beli alat-alat kebersihan kayak beli sabun cuci piring, biaya berobat, ngasih sumbangan, buat pengamen keliling, sampe nyawer biduan dangdut kalau ada tetangga kontrakan yang ngadain acara kawinan lengkap dengan orkes dangdutnya.

Ruangan utama rumah kontrakan gue yaitu sebuah ruang mulai dari pintu masuk utama di depan rumah, hingga dibatasi sebuah tembok pemisah antara ruangan tersebut dengan dapur. Berisi sebuah lemari buku, televisi lengkap dengan playstation dan dvd player, dengan lantai yang dilapisi dengan karpet yang lumayan besar. Sengaja kita isi ruangan tersebut hanya dengan sebuah karpet besar, agar terkesan luas. Tanpa kursi, tanpa meja, yang memang barang-barang tersebut enggak mampu kita beli.

Sebuah ruangan multifungsi yang bisa dipakai untuk menyambut tamu, jika kebetulan datang tamu ke rumah kontrakan kita. Bisa juga jadi arena bermain playstation, ngerjain tugas, ruang baca, dan sebagainya. Cukup luas untuk menampung hingga lebih dari sepuluh orang. Sebuah ruangan yang jadi pusat dari semua kegiatan gue dan empat sahabat gue. Dapur dan satu kamar mandi menjadi dekorasi pelengkap, sebagai sebuah penegasan bahwa bangunan tersebut layak disebut sebagai rumah tinggal.

Teras di depan rumah menjadi pilihan kita ngumpul malam ini. Bernyanyi sambil menatap langit malam yang saat itu bertabur bintang. Kecuali gue. Setelah lomba lari maghrib tadi, badan gue emang mengalami sedikit kelelahan. Gue hanya terduduk di pojokan teras dekat pintu masuk rumah kontrakan. Semua merasa terhibur dengan lantunan musik yang dinyanyikan Rendi. Lagu-lagu The Beatles menjadi backsound lamunan gue malam ini. Pikiran gue menerawang memikirkan Putri. Entah kenapa Putri terus membuat gue gagal fokus saat ini. Cerita Dani tentang salah satu teori konspirasi soal kenapa negeri ini sulit sekali mencapai titik kesejahteraan, enggak menarik perhatian gue. Mungkin gara-gara kelamaan jomblo kali yah, jadi lebih mikirin soal cewek daripada soal negara. Sok banget lah.

Senyuman Putri, suaranya yang lembut, kecantikannya, juga sikapnya yang baik hati, gayanya yang simple dan casual, pokoknya semuanya gue inget-inget terus deh. Enggak bisa gue lupain sama sekali. Padahal sore tadi menjadi saat pertama gue bertemu dengan Putri. Pasti enggak sedikit orang yang lagi baca bagian ini bilang gue lebay. Gue juga dulunya enggak percaya apa yang namanya jatuh hati pada pandangan pertama, apa lagi jatuh bangun ala Kristina. Akan tetapi, saat ini gue ngerasain sendiri loh, gimana ajaibnya cinta. Sementara Dani terus menceritakan tentang peranan pihak asing yang sengaja memiskinkan dan membodohkan bangsa ini lewat segala cara.

“Indonesia ini, sengaja diciptain buat jadi konsumen secara terus-terusan men. Selalu tergantung dengan bangsa asing,” jelas Dani berapi-api. Udah kayak manusia super saiyan aja deh pokoknya.

“Sepakat. Ini udah terjadi sejak masa penjajahan dulu. Mental bangsa ini, mental inlander! Begitu kata buku yang pernah gue baca,” sahut Erdi enggak kalah keras.

Sementara Idan hanya manggut-manggut sambil sedikit berpikir. Rendi asik menyanyikan lagu ‘Let It Be’ yang udah masuk bagian reffrain. Gue, yang biasa ikutan nyahut malah diem aja.

“Kenapa Ki? Kok malah diem?” Tanya Dani yang saat itu menanti pendapat gue.

“Sepakat Dan, Indonesia harus mempersenjatai rakyatnya dengan pendidikan. Jika ingin terbebas dari pengaruh asing, pendidikan menjadi hal utama.” Gue coba sedikit berpendapat.

“Nah! Gitu dong Ki. Jangan ngelamun aja. Hahaha...” Idan tiba-tiba ikut nyahut secara mendadak.

“Eh, coba pendapat lu apa? Jangan ngeledek Kiki yang lagi jatuh hati atuh,” Rendi tiba-tiba nimpalin omongan Idan.

“Serius Ren, si Kiki bogoh ka saha?” Tanya Idan.

“Husssttt! Udah, nanti aja dibahasnya kalau beneran udah ada tanda-tanda jatuh cinta.” Erdi langsung mencegah Rendi untuk cerita lebih lanjut soal gue dan Putri.

“Iya, baru aja sekali ketemu, belum jadi apa-apa kok. Taruhan mah nanti aja.” Dani ikut berucap.

“Idih, kenapa ngomong soal taruhan segala sih. Kesannya...” Gue enggak lanjutin omongan gue.

Semua orang kemudian tertawa dengan perasaan amat bahagia, kecuali gue tentunya.

“Balik lagi ngomongin negara nih?” Tanya Dani.

“Harus lah! Belum ada solusi nih, gimana cara melepaskan diri dari pengaruh asing.” Jawab Idan.

“Urang lanjut nyanyi mun kitu mah...” sambung Rendi.

Diskusi kita yang tadinya ngalor ngidul enggak jelas, kemudian tiba-tiba membahas soal negara. Udah kayak menteri aja. Tapi, coba bayangin, siapa lagi yang harus peduli dengan masa depan bangsa selain generasi muda?! Gue dan empat orang sahabat satu kontrakan gue ini sadar akan hal itu. Meski belum jelas masa depan kita seperti apa, tapi sudah selayaknya kita peduli terhadap nasib bangsa sendiri.

Kita harus menentukan sikap dan idealisme kita dari sejak kita muda, jika emang kita ngerasa sebagai warga negara Indonesia yang cinta terhadap negerinya. Sikap kita, akan menentukan siapa kita di masa depan. Sikap kita yang nantinya bisa membentengi pengaruh asing yang coba menggerogoti kedaulatan bangsa. Begitu kata Dosen mata kuliah Kewarganegaraan di kampus gue.

Esok harinya, gue pergi ke kampus dengan ceria. Rencananya sih nanti sore gue coba ketemu Putri lagi di kampusnya. Semalem udah gue kirim sebuah pesan singkat pada Putri lewat handphone kesayangan gue, pemberian paman yang datang dari desa. Udah gue siapin beberapa bahan obrolan buat gue nantinya. Semaleman gue enggak bisa tidur mikirin hari ini. Padahal, baru aja gue kenal Putri satu hari yang lalu. Hari ini gue udah ngerasa rindu. Hehehe.

“Ki, ceuk kabogoh urang maneh janjian sama Putri?” Tanya Rendi di kelas, selepas kuliah selesai.

“Iyah, kenapa gitu?” Bales gue balik nanya.

“Enggak, tadi pagi Indah telepon, bilang kalo Putri ngasih tau mau janjian ketemu sama Kiki nanti sore,” jelas Rendi.

“Terus Putri cerita naon ke Indah?” Tanya gue penasaran.

“Teu cerita nanaon, da cuman gitu doang. Udah, titik sampe situ.” Jawab Rendi.

Gue hanya nganggukin kepala sambil jalan keluar dari kelas.

“Laper Ki...” Ujar Rendi sambil ngejar gue, buat jalan bareng keluar dari kelas.

“Ke kantin atuh, makan.”

“Bisa pinjem uang enggak? Urang eweuh duit yeuh, can aya kiriman.”

“Heuuuh maneh mah...”

“Aya sarebu mah. Lumayan buat beli obat maag, sama jelly drink.” Jawab gue ngasal sambil mempercepat langkah kaki.

“Idih, meuni tega maneh sama orang yang sudah berbaik hati mengenalkan maneh ke seorang perempuan cantik, gemah ripah loh jinawi...”

“Iya deh iya, gue beliin makan. Tapi, yang murah aja, gimana?” Tanya gue.

“Oke siaaaaappp! Makasih yah Ki, mudah-mudahan lancar sama Putri. Hehehe.”

Langkah kaki gue dan Rendi berakhir di kantin kampus. Disana Idan terlihat duduk sendiri sambil makan satu piring gado-gado. Ingat loh, yang dimakan Idan itu satu piringnya, bukan gado-gadonya. Kebetulan Idan jago debus. Hehe, bercanda. Tanpa berpikir, kita berdua langsung menyambangi meja tempat Idan sedang menikmati makanannya. Sadar akan kedatangan gue, Idan memberikan senyuman manis, semanis madu. Apaan sih?! Kemudian gue dan Rendi langsung duduk di bangku panjang berseberangan dengan Idan, di meja kantin yang sama.

“Udah lama disini Id?” Sapa gue ke Idan.

“Hmmm...” jawab Idan sambil terus makan.

“Udah kayak enggak makan sebulan Id, lahap bener makannya?!” Sindir gue.

“Urang mesen heulan Ki,” Rendi tiba-tiba nyeletuk sambil ngeloyor pergi menuju puncak gemilang cahaya...eh, menuju sebuah kantin yang menawarkan beragam menu dengan harga yang sesuai dengan mahasiswa.

“Kuliah beres Id?” Tanya gue ke Idan.

“Udah.” Jawab Idan singkat lalu meneguk segelas es teh manis yang tersaji di meja dari kemarin.

“Ki, lu jadi ketemuan sama Putri?”

“Hah?! Dari mana lu tau?”

“Rendi kan bbm di grup, bilang soal hari ini. Katanya dia tau dari ceweknya,” jelas Idan.

“Anjrit, si belegug! Kenapa pake diceritain segala. Bisa gagal masa depan gue,” keluh gue.

“Ki, maneh moal pesen kitu?” Seketika Rendi nongol begitu saja dari kolong meja.

“Henteu...” jawab gue singkat, sambil pasang muka jutek.

“Kunaon Ki?” Tanya Rendi sambil salto, kemudian duduk di sebelah gue.

“Enggak apa-apa, cuma agak kesel aja.” Jawab gue.

“Kesel Ren, ke lu. Kesel gara-gara lu cerita sama kita kalo Kiki mau ketemu Putri beres kuliah entar.” Jelas Idan coba bantu gue ngejawab pertanyaan Rendi.

“Gini Ren, gue enggak mau gagal dapet cewek lagi kali ini, cuma gara-gara lu pada taruhan tentang kisah percintaan gue.” Jelas gue sambil celingak-celinguk mencari makanan yang cocok buat menu makan siang hari ini.

“Tenang, urang jeung barudak belum tentu taruhan hari ini kok, kita juga ngehargain lu kali,” terang Rendi.

“Enggak tau deh kalo besok, atau mungkin lusa...” lanjut Rendi.

“Atau mungkin entar malem, pas lu pulang dari ketemuan,” sahut Idan.

“Hahahaha...”

Rendi dan Idan kemudian tertawa terbahak-bahak, membuat seisi kantin menoleh ke arah yang benar. Menyaksikan tingkah polah kami yang seperti penonton bayaran di acara lawak televisi, yang tertawa sekenceng-kencengnya demi mendapatkan satu lembar seratus ribuan.

(Chapter 3)

Berlanjut di pertemuan berikutnya ya guys (^_____^)

Comments

  1. Saran aja, ceritanya datar banget, Bro. Dan buat ukuran di taro di blog, kepanjangan.

    Btw, salam kenal. Rumah gue juga di Pandeglang, Cadasari. Seneng ada blogger juga dari Pandeglang. =)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam kenal juga, iya sedikit orang pandeglang yang mau bikin blog. Padahal ada beberapa orang yang gue kenal rajin nulis juga.
      Makasih buat sarannya, seneng banget ada yang komentarin tulisannya, ke depannya gue bakalan coba buat belajar nulis lebiha baik lagi. Hehehehe.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

My Opinion About The Book: "Mata Malam"

My Opinion About The Book: "The Blackside: Konspirasi Dua Sisi"

My Opinion About The Book: "Gadis Pemberontak"