MUSEUM ITU BERNAMA MEDIA SOSIAL


Halo guys, gue balik lagi nih nulis di blog. Selagi iseng, gue mau sedikit berbagi pemikiran aja nih. Soal media sosial. Pastinya semua orang, terutama yang sedang membaca tulisan gue ini enggak asing lagi dengan apa yang namanya media sosial. Atau sekarang banyak yang bilang sosmed atau medsos, untungnya akronim yang beredar di masyarakat pengguna internet ya seperti itu. Bersyukurlah media sosial enggak disingkat jadi me sial atau dia sial, yang berkonotasi negatif bagi orang pertama atau orang ketiga, bisa juga orang kedua dalam bahasa sunda kulon. Intinya, akronim yang berujung sial.

Balik lagi ke medsos. Generasi melek internet saat ini, bisa dipastikan memiliki minimal dua medsos atau lebih dari dua kayaknya. Gue pribadi punya twitter, fesbuk, blog, dan yang lainnya. Menambah pergaulan dan mencari ilmu adalah tujuan pribadi gue pada awalnya memiliki medsos. Namun, seiring berjalannya waktu, pendewasaan akibat dari pendidikan empiris kehidupan membuat gue terkadang menjadikan medsos buat tempat gue berekspresi. Karena disadari atau tidak, medsos merupakan ruang publik virtual yang berisi beragam macam manusia, baik individu, komunitas, pedagang, penipu, pejabat, organisasi pemerintahan, dan semua-semua yang ada di mobil kijang.

Karena medsos ini adalah sebuah ruang publik, dimana terjadi bermacam interaksi di dalamnya, maka gue pun sedikit-sedikit mulai berani menyatakan pendapat tentang segala sesuatu hal yang tertangkap oleh panca indera. Mulai tentang politik dan hukum, pendidikan, ekonomi, dan beragam macam fenomena lainnya. Ya, mungkin para pembaca yang budiman sudah melihat-lihat isi blog gue seperti apa. Jadi dapat disimpulkan wujud gue ini makhluk yang kayak gimana. Meskipun gue terkadang ragu jika berbagai hal yang gue nyatain di medsos ini dibaca sama orang lain atau enggak. Tapi, dari pada ngedumel di hati ujungnya malah jadi penyakit, mending dituangin aja lewat tulisan.

Nah, medsos ini meningkatkan kemauan menulis seseorang loh. Namun sayangnya di negeri kita ini meningkatnya minat menulis, belum sebanding dengan meningkatnya minat baca. Kenapa orang saat ini lebih senang menulis di medsos, ya karena medsos enggak butuh pulpen atau kertas yang harganya semakin hari semakin mahal. Lagian enggak semua tulisan tangan orang itu bagus. Terkadang tulisan jelek menjadi salah satu penghambat orang buat nulis. Hehe. Disamping itu, tulisan tangan kita enggak pernah bisa dibaca orang secara langsung, sehingga lambat mendapat feedback dari khalayak. Beda kalau kita nulis status di fesbuk misalnya, baru sebentar aja langsung ada yang kasih komentar atau ada orang yang menyukai apa yang kita tulis.

Serunya, para pakar medsos-ware ini nemu aja lagi media ekspresi yang semakin hari semakin kreatif. Buat orang yang suka asal nyeletuk, ada twitter yang dibatasi 140 karakter. Kalau yang pengen nulis agak panjang, ada fesbuk. Buat yang doyan nulis artikel, ada blog. Buat foto ada instagram, buat makan ada nasi sama ikan, buat gue, ya cuma kamu, iya...kamu. Hehehe. Semakin banyak jenis medsos, ada dubsmash, youtube, soundcloud, path, ask.fm, pinterest, dan lainnya. Akhirnya meningkatkan tingkat kreatifitas manusia. Memberikan ruang berekspresi lebih banyak untuk manusia.

Kita bisa dengan bebasnya menggunakan akun medsos yang kita punya. Mengeluarkan uneg-uneg tentang pemerintahan korup tanpa harus dibilang makar, bisa. Tanpa takut dituduh subpersip, enggak kayak zaman sebelum reformasi. Mau ngocol dan menghibur orang lewat hal-hal jenaka juga bisa. Mau curhat tentang perasaan terhadap lawan jenis juga monggo. Bahkan, banyak akun anonim yang dibuat untuk kampanye hitam juga boleh. Generasi sekarang adalah generasi medsos. Jaringan internet akhirnya menghubungkan dua sisi dunia yang bertolak belakang dan berjauhan. Akulturasi terjadi, banyak hal tabu menjadi wajar di dunia medsos, pornografi salah satunya. Tapi saat ini gue bukan mau ngebahas itu, meski hal tersebut memang sangat mengganggu mata.

Segi positif sebuah akun medsos adalah membuat semua informasi dapat dengan mudah dan secara langsung kita komentari. Juga kita bisa aja kan stalking akun medsos orang yang kita suka, buat tahu apa aja mikes makes yang gebetan sukain. Haha. Ketika ada beberapa orang menyepakati ide yang kita tuangkan, dan ide ini membutuhkan eksekusi berupa sebuah kegiatan, medsos menjadi ruang untuk mempublikasi kegiatan kita. Dari satu kegiatan, akhirnya berkembang menjadi suatu komunitas. Jaringan silaturahmi yang semakin berkembang, yang akhirnya menambah wawasan buat diri kita juga. Gue sendiri ngalamin tuh feedbeck positif dari medsos.

Hanya terkadang pengguna medsos pun ada yang lain di bibir lain di hati. Sekedar mengejar eksistensi, tapa berlaku jujur pada diri sendiri. Gue juga termasuk orang yang seperti itu di masa lalu. Membuat status-status medsos yang bersifat riya. Ataghfirullah. Tapi sekarang udah enggak gitu kok, ini lagi berproses menuju pribadi yang lebih baik lagi. Mohon dukungannya. Nah, kalo sekedar pamer barang, makanan, atau lokasi liburan sih menurut gue riya yang sepele. Yang ribet itu kalo yang dipamerin itu idealisme. Bikin status abis sedekah, padahal lagi tiduran. Bilang otw mesjid mau sholat jum’at padaha mah enggak, cuma biar dikatain nambah ganteng, dan sebagainya, hal yang membahayakan.

Jangan sampai apa yang kita tulisin di status itu bukan realitas yang lagi dilakuin. Meski hanya medsos, hanya dunia maya, tapi tetep aja bro, itu tuh pembohongan terhadap publik. Udah macam mental politisi aja, hehe. Yang lebih ngeri lagi, jika ide yang kita tuang dalam sebuah status medsos itu ternyata sebuah ide cemerlang. Namun, enggak pernah dijadikan sebuah tindakan nyata. Dan saat menulis ide tersebut, kita hanya iseng aja gitu. Ada kalanya enggak sengaja, cuman buat keren-kerenan aja. Hal yang sangat berbahaya bagi kelangsungan generasi penerus adalah hal-hal yang semacam ini guys. No act, just talk.

Ini yang menjadi fenomena dalam dunia medsos kekinian. Medsos dijadikan alat mendokumentasikan ide, akan tetapi ide tersebut tidak di eksekusi. Sedihnya lagi ide-ide tersebut cuma jadi angin lalu aja yang enggak pernah ditengok lagi. Masih syukur jika ada orang lain yang menjadikan ide-ide tersebut jadi kenyataan. Kalo enggak, ya udah, cuma jadi memori dalam server medsos aja. Makanya gue analogikan medsos sebagai museum. Sebuah museum merupakan lokasi yang sepi pengunjung, padahal peradaban manusia berasal dari sana. Museum merupakan tempat yang berisi tentang gambaran kecil bagaimana sebuah proses perjalanan manusia menuju beradab. Ide berharga berserakan disana, di timeline medsos kita. Ide yang tergeletak begitu aja nunggu dipungut sama kita. Tinggal gimana jelinya kita mengambil sikap.

Comments

Popular posts from this blog

My Opinion About The Book: "Mata Malam"

My Opinion About The Book: "The Blackside: Konspirasi Dua Sisi"

My Opinion About The Book: "Pendidikan Kaum Tertindas"