Mahasiswa Absurd (Chapter 5)

Jam tiga sore, gue meluncur ke kampus tetangga, nyamperin Putri yang baru aja beres kuliah. Lewat pesan burung merpati gue coba hubungin Putri. Gue ajak dia ketemuan di taman dekat kampusnya. Soalnya kalau ketemu di kampus, takut ada Indah. Kalo Indah tau, semua aktivitas gue dan Putri bisa diketahui sama Rendi dan temen-temen kontrakan gue yang lain. Gue pun mengayunkan sepatu vans berisi kaki gue ke arah taman.

Sesampainya di taman, duduk dua-duaan. Makan roti buaya, dengar lagu cinta. Eh, itu mah lirik lagunya Naif. Pas gue hampir nyampe ke taman, gue udah ngeliat Putri dari kejauhan. Saking jauhnya, gue enggak bisa bedain yang mana Putri, yang mana ibu kost, yang mana rektor kampus gue. Gue coba perjelas lagi penglihatan gue dengan cara melangkah mendekati taman.

Sebuah taman yang asri. Lokasi ini sengaja gue pilih, karena udaranya adem dan suasananya yang tenang. Warga kota Bandung memang banyak memilih taman untuk jadi lokasi ngumpul-ngumpul. Untungnya, di Bandung memang banyak taman, sehingga seluruh warga enggak tumpek blek di satu taman yang gue datengin hari ini. Kalau tamannya hanya satu, dan semua warga pada ngumpul disitu semua, itu mah namanya pasar kaget Gasibu. Kalau udah kayak gitu bisa gawat. Makin sulit gue ngebedain mana Putri, mana ibu kost, mana rektor, mana walikota Bandung yang terkenal itu.

Sosok Putri yang cantik menurut gue, membuat gue terkagum-kagum. Selangkah demi selangkah gue datengin dia. Putri duduk di sebuah ayunan, menikmati udara sejuk taman yang memang rimbun akan pepohonan. Selain bermain ayunan terkadang Putri bermain perosotan, main pasir, main hati, alah. Putri yang gue ceritain disini enggak kayak gitu men. Dia sedang duduk manis di atas air mancur, di atas airnya! Ajaib kan?! Gue samperin aja langsung daripada lama-lama dia basah-basahan kayak gitu.

Dengan senyuman manisnya, Putri menyambut kedatangan gue.

“Udah lama ya? Maaf ya Kiki telat,” ucap gue.

“Hehehe... enggak apa-apa kok, Putri juga baru sebentar,” jawab Putri.

“Sore-sore gini emang enak nongkrong di taman. Makasih yah udah ngajak Putri ketemuan disini.” Lanjut Putri.

Senyuman Putri itu mas bro, bisa bikin puncak Everest meleleh. Lumer dah hati gue. Gue nyampe enggak fokus sama kata-kata yang diomongin sama Putri. Mata gue enggak bisa berpaling sedikitpun darinya. Mungkin ini yang kata orang jatuh cinta. Mohon maaf nih para pembaca yang budiman, gue beneran jatuh hati sama cewek yang bernama Putri ini. Sampe gue enggak bisa ngejelasin gimana rasanya. Sori nih kalau gue lebay.

“Kenapa Ki, kok kamu ngeliatin Putri kayak gitu?”

“Enggak apa-apa kok,” jawab gue sambil memalingkan muka. Coba mengalihkan pandangan nengok ke kanan kiri taman. Siapa tahu ada tukang gorengan.

“Suka ya?! Hahaha...” Putri coba godain gue.

“Gimana yah, masih proses sih...” jawab gue.

“Hahaha, proses apaan???”

“Proses hmmm, proses apa yah?!” Gue sedikit kebingungan menjawab pertanyaan Putri.

“Yah, enggak bisa ngejawab. Berarti beneran suka?”

“Hehehe, enggak lah... Belum. Eh, enggak tau deh,” jawab gue sambil tertunduk malu.

“Ngomong-ngomong, gimana tadi kuliahnya?” Gue langsung ganti topik obrolan, coba tanya hal lainnya buat ngalihin perhatian Putri dari situasi awkward yang gue rasain.

“Biasa aja,” jawab Putri singkat.

“Oh gitu...” Aseli nih guys, awkward banget kondisinya. Gue enggak tau mesti ngomong apa lagi. Entah gue kesambet setan apaan, tapi kenapa jadi kaku begini yah?!

Gue jadi kaku sekaku-kakunya. Kayak kanebo kering yang udah enggak ketemu air berbulan-bulan.

“Ki, Putri boleh minta tolong enggak?”

“Iya Put, ada apa?”

“Emmm, gimana yah, susah ngomongnya...” Entah apa yang bakalan diomongin Putri, tapi dia terlihat kebingungan.

“Bilang aja Put. Mudah-mudahan Kiki bisa bantuin,” ucap gue sambil senyum.

Kesempatan nih buat gue buat nolongin cewek yang gue taksir. Siapa tau kalo gue bantuin sekarang, dia bakalan jatuh hati sama gue.

“Sebenernya...” Putri tiba-tiba menghentikan ucapannya.

“Sebenernya apa?” Tanya gue penasaran.

“Kiki temennya Rendi kan?”

“Iya Put, kan Kiki kenal Putri juga karena dikenalin sama Rendi, sama Indah juga.” Jelas gue.

“Ya gitu deh, bener apa yang Kiki omongin.”

“Emangnya ada apa Put?”

“Jadi temenan sama Idan juga kan?”

“Iya. Kok Putri tau?”

“Putri kenal sama Idan dari sekolah Ki, dia kan temen satu sekolah.” Jelas Putri.

“Kenapa Idan enggak bilang sama Kiki ya kalo dia kenal Putri?”

“Hehehe, biarin aja Ki.” Jawab Putri sambil tersenyum seperti biasanya.

“Berarti Putri enggak jadi minta tolong deh, hehehe...” Lanjut Putri.

Sebenernya gue bingung sama omongan Putri barusan. Tadinya dia mau minta tolong, dan sebagai cowok yang memang sedang mencari perhatian dari lawan jenis, tentu aja gue siap nolongin Putri. Eh, malah enggak jadi. Sebetulnya apa yang terjadi antara kedua makhluk sejoli asal kota hujan ini?! Pertanyaan ini hinggap di benak gue. Pulang dari sini gue harus coba tanyain Idan.

“Kiki udah makan?” Tiba-tiba Putri nanyain sesuatu hal yang bikin deg-degan.

“Eh, apa Put?” Gue coba ngeyakinin diri kalau gue tadi enggak salah denger.

“Udah makan belum? Kalo belum, makan bareng Putri yuk?”

Sebetulnya pertanyaan ini enggak gue harepin keluar dari mulut manis Putri yang ayu-cantik-jelita ini. Sebuah pertanyaan horor yang ditakutin sama kalangan mahasiswa di akhir bulan, terutama kaum lelaki jomblo, ketika tanggal-tanggal di kalender udah berawalan dengan angka dua. Mana tadi gue udah beliin makan Rendi, stok amunisi bulan ini udah tipis banget.

Gue dilanda kepanikan men!

Di satu sisi gue emang belum makan. Tapi kalau gue ikut makan, demi menjaga perjanjian internasional yang sudah diratifikasi seluruh laki-laki di seantero semesta, otomatis gue mesti bayarin makan Putri juga. Gengsi harus dijaga, martabat seorang lelaki harus dipertahankan.

“Besok enggak makan juga enggak apa-apa!” Ucap gue dalam hati.

Dengan yakin gue coba siap menerima segala konskuensi jatuh cinta. Tekad gue dalam hati sudah bulat, ini sebuah pengorbanan cinta. Pahit getir harus dilalui demi mendapatkan gadis impian. Gue terus menerus ngucapin beberapa kalimat penyemangat dalam hati.

“Gimana Ki, makan yuk?” Putri menyadarkan gue dari lamunan yang memilukan.

“Ayo deh, kebetulan... Kiki juga belum makan.” Jawab gue gemeteran.

Gue dan Putri pun beranjak dari taman tempat kami menghabiskan waktu bersama menuju senja. Kami melangkah bersama menuju masa depan yang cerah. Mulai enggak jelas deh yang nulis cerita ini. Gue dan Putri jalan ke arah kampus lokasi Putri menuntut ilmu dari Senin sampai Jumat, karena Sabtu dan Minggu libur. Itupun jika ada jadwal kuliah.


Bersambung hingga kapan tau~

Comments

Popular posts from this blog

My Opinion About The Book: "Mata Malam"

My Opinion About The Book: "The Blackside: Konspirasi Dua Sisi"

My Opinion About The Book: "Gadis Pemberontak"