Mahasiswa Absurd (Chapter 6)
Sesampainya di depan kampus swasta nan mentereng
itu, Putri mengajak gue sejenak masuk ke dalam sebuah kamar sempit ber-AC yang
sepertinya tidak asing buat gue. Sebuah ruangan penuh dengan harapan masa
depan, dengan visi kesejahteraan bangsa. Kamar yang berisi sebuah mesin sedekah
yang diciptakan oleh badan usaha yang menyatakan diri bernama Bank. Ya, Putri
ngajak gue ke ATM mas bro! Sebuah kegiatan rutin yang dilakukan oleh mahasiswa
rantau di tanggal tua, dimana uang dalam dompet tiada tersisa, dan semua
intelektual muda seakan-akan menunjukan tindak-tanduk kriminal yang
mencurigakan.
“Mau cek saldo dulu Ki, biasa.” Ucap Putri.
“Oke, siap bos.” Jawab gue singkat, sambil
angkat jempol. Dua jempol. Jempol kaki malah.
Entah kenapa, perasaan gue jadi agak
berbunga-bunga semenjak Putri memasukan kartu ATM miliknya ke dalam saku gue,
loh kok?! Absurd banget. Maksud gue, saat kartu debit sebuah bank nasional
milik Putri dimasukan ke dalam sebuah mesin berbagi uang otomatis yang berdiri
tegak berjejer di dalam ruangan ber-AC. Kemudian Putri menekan tombol-tombol
angka di mesin itu dengan manja, seolah sedang bercanda mesra dengan pasangannya.
Ini apaan sih?! Sementara gue dengan sabar menunggu di atas sebuah mesin ATM
lainnya yang tergolek lemah tak berdaya di ruangan yang sama, yang kebetulan
terletak di bawan AC. Lumayan, ngadem dikit.
Nada-nada merdu berbunyi pelan seiring jemari
Putri menekan tombol-tombol mungil mesin ATM dengan jari manisnya. Sebuah hal
yang diluar kebiasaan umum, dimana orang biasa menekan tombol pada sebuah mesin
ATM, dengan menggunakan jari telunjuk. Tak berapa lama, mesin ATM tersebut
berbunyi agak berisik, seperti akan mengeluarkan sesuatu dari perutnya. Apakah
itu? Sulit diungkapkan. Ya duit lah! Enggak mungkin juga mesin ATM ngeluarin
sertifikat tanah atau ijazah yekan?!
“Tenang Ki, sore ini Putri yang traktir.” Ujar
Putri sambil mengambil beberapa lembar uang lima puluh ribu. Tak lupa ucapan
tersebut dibarengi dengan senyumannya yang aduhai.
Mendengar ucapan Putri, gue pura-pura mati, eh,
pura-pura bego. Padahal dalam hati senangnya minta ampun. Maaf pemirsa,
khususnya para cowok, gue saat ini melanggar perjanjian tak tertulis tentang
penyerahan pemenuhan kebutuhan ekonomi di tangan para pria berlandaskan gengsi
dan tanggungjawab. Naluri manusia untuk survive yang bikin gue jadi rela
dibayarin makan kayak gini. Peluang yang enggak mungkin disia-siakan oleh
mahasiswa yang sedang kere.
Setelah dari lokasi ATM yang baik hati, gue dan
Putri melanjutkan perjalanan menuju sebuah tempat makan berpenampilan sederhana,
searah dengan rute menuju lokasi Putri ngekost. Agar tidak mengulang kesalahan
yang sama seperti kemarin, kali ini gue memperhatikan beberapa ciri di kanan
kiri jalan. Sehingga kelak ketika gue melangkahkan kaki tuk pulang, gue enggak bakalan
nyasar lagi. Itu juga kalau daya ingat gue kuat sih. Doakan gue ya!
---------------------------------------
Sebuah kedai makanan sunda ala mahasiswa
menjadi lokasi makan gue dan Putri sore itu. Hanya sedikit pengunjung yang ada
disana saat gue melangkah masuk ke dalam kedai tersebut. Empat meja makan
persegi panjang berukuran sedang menghiasi ruangan kedai tersebut. Ruangannya
muat untuk dua puluhan orang, sesuai dengan kursi yang tersedia disana. Gue dan
Putri bersepakat setelah mengalami perdebatan panjang untuk memilih meja mana yang
akan diduduki. Jangan pada mikir kita berdua duduk di atas meja di sebuah
tempat makan umum seperti itu. Sudah sangat jelas maksudnya kita akan duduk di
kursi seperti manusia normal pada umumnya. Gue bakalan duduk di atas meja kalo
sepi, buat muasin para pembaca yang budiman. Itu juga kalau dibolehin sama yang
punya restoran. Hehehe.
Beberapa saat kemudian seorang pelayan
menghampiri kita berdua. Melangkah dengan anggun, seperti bidadari dan kemudian
hinggap di samping meja tempat gue dan Putri duduk. Ia datang dengan membawa
sebuah buku menu yang berisi tentang keluh kesah si pelayan selama bekerja di
kedai tersebut. Enggak mungkin banget kan?! Sudah sangat jelas jika si pelayan
bawain menu makanan dan minuman yang mereka jual. Itulah tugas mulia seorang
pelayan sebuah restoran manapun.
“Selamat datang, silahkan. Mau pesan apa?” Ucap
sang pelayan ramah. Suara lembutnya membuat gue semakin betah ada di restoran
ini.
Seorang lelaki muda yang ramah. Entah namanya
siapa dan dari mana asalnya. Gue mengenalnya sebagai sang pelayan. Gue dan
Putri coba melihat daftar menu yang ditawarkan. Sementara sang pelayan tersebut
tetap tersenyum ramah. Mungkin dalam benak sang pelayan banyak permasalahan
hidup yang sedang dipikirkan. Masalah kehidupan memang sungguh pelik. Namun,
segala jenis pikiran tersebut berhasil ditekan dalam-dalam demi profesionalitas
kerja. Entahlah. Siapa gue coba, sok peduli dengan urusan orang. Mudah-mudahan
Tuhan memberikan rejeki yang cukup untuk sang pelayan yang baik hati ini. Juga
untuk mesin ATM yang tadi.
Putri akhirnya memesan nasi putih komplit
dengan ayam goreng dan sambal, dihiasi lalapan, plus sayur asem, dilengkapi
dengan es jeruk. Sementara dengan sadar diri, gue memesan nasi goreng biasa,
dengan minum air mineral aja. Sang pelayan mencatat pesanan gue dan Putri dengan
rapi. Ia menulis mengunakan pulpen bermerek pilot, sebuah cita-cita mulia dari
sang pelayan yang sayangnya enggak kesampean. Hanya sebuah asumsi gue semata
sih.
“Emang makan nasi goreng doang bikin kenyang?”
Tanya Putri setelah sang pelayan pergi dari hadapan kita berdua.
“Iya, Kiki lagi pengin makan nasgor Put.” Jawab
gue.
“Putri sama temen-temen kosan biasanya makan
disini kalo lagi ada uang, atau kalo ada momen spesial, ada yang ulang tahun
atau lulus gitu.” Jelas Putri.
“Wah, kalo gitu mahal dong?!”
“Hehe, tenang aja Ki. Enggak apa-apa kok. Ini
juga momen spesial.”
“Maksud Putri apa?” Gue sedikit memancing
obrolan ke arah yang gue harapkan.
“Iya, spesial.” Jawab Putri singkat.
“Jadi menurut Putri, Kiki spesial buat Putri?”
Gue coba sedikit menyimpulkan maksud ucapan Putri. Sikap yang kelewat pede.
“Spesial dooong. Ini pertama kali Putri traktir
cowok makan. Hahaha!” Jawab Putri sambil tertawa lebar.
Jleb! Gue hanya tertunduk malu. Meski hati
kesal, tapi selama bisa bikin Putri ketawa, enggak apa-apa dah. Gue pun turut
tertawa dalam kepahitan akhir bulan. Meski terkesan agak dipaksakan. Lagian
senyumnya Putri itu men yang bikin gue terpukau. Berasa di hipnotis sama Romi
Rafael.
Selang beberapa menit kemudian, pesanan kami
datang. Kami berdua pun makan dengan tangan. Aneh kan gue makan nasi goreng
pake tangan?! Karena keanehan itulah akhirnya gue putuskan untuk makan dengan
lahap, eh dengan menggunakan sendok. Beserta garpunya, biar enggak cemburu.
Padahal tadinya pengin makan nasi goreng dengan cara anti mainstream, tapi
ternyata nasi gorengnya panas. Mungkin dia sedang marah.
Dua puluh menit kemudian makanan yang tersaji
di hadapan kami berdua telah habis disantap. Selama proses makan memakan itu
tiada percakapan menarik yang kami ungkapkan. Hanya sedikit canda-canda anak
muda yang tengah kasmaran, yang walaupun sebenernya enggak lucu tapi mengandung
kelucuan tersendiri di mata dua sejoli yang sedang jatuh cinta. Atau gue doang
yang jatuh cinta, sementara Putri memberikan tawanya secara gratis hanya untuk
menghargai usaha gue. Entahlah, hati orang siapa yang tau.
Bersambung hingga penulis enggak sibuk lagi~
Comments
Post a Comment