Ada Apa Dengan Liga China?

Bursa transfer sepakbola di awal tahun 2016 ini diramaikan dengan hijrahnya pemain dari benua Eropa menuju asia. Beberapa transfer yang mencuri perhatian gue adalah soal Ramires, Gervinho, Fredy Guarin, Alex Texiera, dan Jackson Martinez. Tiga orang asal amerika selatan itu nekad merantau ke negeri Tiongkok. Mencari apa? Mencari sesuap berlian tentunya,masa mau latihan kungfu?! Eropa sebagai benua yang menjadi kiblat sepakbola selama ini, ditinggalkan demi gaji berlipat ganda di daratan Cina. Mungkinkah hanya sekedar gaji yang membuat mereka mau pindah ke Asia?

Ada lagi cerita tentang gagalnya transfer pemain AC Milan Luiz Adriano, dan lagi-lagi Tiongkok menjadi tujuan. Namun, untuk yang terakhir ini meski sang pemain sudah mendarat di Beijing, perpindahan gagal terwujud. Entah ada apa dibalik gagalnya transfer yang satu ini, yang jelas negeri tirai bambu jadi tujuan pesepakbola kekinian. Salah satu yang membuat mereka tergiur dengan China pasti terkait dengan gaji mahal. Semua pemain sepakbola juga butuh tantangan untuk meningkatkan performa bermainnya, dan China memberikan tantangan itu. Entah bentuk tantangan yang seperti apa yang diberikan, mungkin mereka akan berlatih dengan para personel Shaolin Soccer yang terkenal itu.

Dalam perjalanan transfer seorang pemain, langkah pertama yang harus dilakukan pihak klub pembeli adalah merayu pihak klub pemilik pemain tersebut. Jika klub pemilik pemain sudah menerima tawaran dari klub pembeli, maka klub pembeli dipersilahkan untuk melakukan negosiasi kontrak dengan pemain yang diincar. Apabila terjadi kesepakatan, maka pada tanggal yang ditentukan, terjadilah transfer pemain itu, dibarengi dengan transfer uang dari klub pembeli kepada klub awal, pemilik sang pemain.

Kegagalan transfer biasanya terjadi ketika klub pemilik pesepakbola menolak tawaran harga dari klub pembeli. Bisa juga tidak sepakatnya pemain dengan tawaran kontrak yang ditawarkan oleh klub yang mengincarnya. Mungkin Luiz Adriano mengalami salah satu di antara dua hal di atas. Namun, keberadaannya di Tiongkok menjadi absurd. Sepertinya pihak pembeli tak jadi memakai jasa si pemain, dan membatalkan transfer begitu saja, setelah transaksi dengan AC Milan sukses, dan tawaran kontrak diterima. Malang benar nasib Luiz Adriano, tak seperti Ramires dan Alex Texiera, kompatriotnya dari Brasil yang sukses menjadi pendatang baru di Liga China. Kan ongkos ke China dari Italia lumayan mahal tuh. Hehe.

Permasalahan transfer pemain bisa gue bahas di artikel yang lain. Saat ini, yang jelas gue sendiri agak heran kenapa Ramires, Jackson Martinez, dan Alex Texiera mau pindah ke Tiongkok. Ada apa dengan Liga China? Yang jelas, sebelum mereka bertiga, beberapa pemain liga eropa sudah banyak yang mendatangi negeri China, di antaranya Demba Ba, Gilardino, dan Paulinho. Bahkan, Sven-Goran Errikson dan Marcelo Lippi pun tertarik melatih klub Liga Super China, kasta tertinggi sepakbola negeri tirai bambu itu. Apakah hanya soal uang? Pertanyaan berikutnya, jika uang memang alasan utama, kok bisa yah klub-klub China memiliki dana besar untuk mendatangkan mereka?

Soal dana mungkin bisa dijawab dengan mudah. Klub-klub Liga Super China memiliki sponsor semisal perusahaan yang lumayan besar, dan mampu mendanai transfer mahal tersebut. Sudah bukan rahasia lagi jika Tiongkok menjadi kiblat ekonomi dunia saat ini. Banyak pabrik perusahaan dunia yang kini hadir di China, antara lain Apple dan General Motors. Dua perusahaan besar asal Amerika Serikat itu memusatkan pabrik produksinya di China, karena melihat target utama pasar mereka ya di Asia dan Australia. Berlawanan dengan Perusahaan China – berbarengan dengan Jepang dan Korea Selatan – yang justru mulai merambah pasar Eropa dan Amerika.

Meski gue belum pernah ke China, dan enggak tau apakah pembangunan dan kesejahteraan rakyat Tiongkok sudah merata atau belum, tetapi China kini dinyatakan sebagai raksasa ekonomi dunia. Tengoklah kemajuan pesat kota Beijing, gedung-gedung megah dibangun disana. Meski baru gue lihat lewat filmnya Tom Cruise sih hehe. Hal ini, mengundang banyak wisatawan asing untuk datang, disamping ketertarikan kepada monumen bersejarah China Great Wall. Malahan investor China juga mulai berdatangan di Indonesia. Mereka menjadi negeri pemberi investasi, jauh berbeda dengan nasib mereka puluhan tahun lalu, dimana banyak orang menyimpulkan bahwa ideologi komunis gagal memberikan kesejahteraan. Republik Rakyat Tiongkok kini telah menjadi salah satu negara dengan tingkat kemajuan ekonomi yang pesat. Itu baru satu alasan yang membuat para pesepakbola terkenal tertarik untuk bermain di liga sepakbola negeri tirai bambu.

Sejak beberapa tahun lalu, China Super League memang telah mengajak pemain liga-liga Eropa untuk bermain disana. Namun, saat itu hanya para pemain yang berusia di atas 30 tahun yang menjadi terget mereka. Selain harga pemain yang murah di usia senja, pengalaman bermain mereka tentunya akan sangat berharga bagi pemain asli China sendiri. Hal ini berguna untuk meningkatkan kemampuan pemain sepakbola lokal, dan juga mendatangkan sponsor. Selain itu, nama besar pemain-pemain liga Eropa – meskipun sudah uzur – diyakini mampu mendatangkan suporter ke stadion. Membuat masyarakat Tiongkok mencintai liga dalam negerinya sendiri. Namun, di awal tahun ini beberapa pemain yang tampil dalam performa terbaiknya, seperti Ramires dan Gervinho, justru menjadi target utama klub besar Tiongkok.

Kayaknya uang udah enggak jadi masalah deh, karena target sponsor dan suprter sudah dimaksimalkan. Bisa balik modal, dan untungnya dibelanjain pemain mahal Eropa. Itulah yang terjadi saat ini. Bak gayung bersambut, beberapa pemain terkenal yang karirnya sedang tersendat memilih China sebagai lokasi mereka memperbaiki penampilan. Coba menggali ulang potensi dalam diri mereka sendiri. Guarin, Paulinho, dan Jackson Martinez salah tiga dari para pemain yang bertujuan memperbaiki diri tersebut. Luiz Adriano – meski Cuma niat aja – pun tadinya memiliki tujuan yang sama, tetapi berujung gagal sih, dan mesti balik ke Milan dengan malu sama kucing meong-meong-meong.

Martinez sebagai striker haus gol di Porto malah jadi kerupuk umes di Atletico Madrid, dia tak bisa melanjutkan estafet striker subur Atletico pendahulunya, yakni Vieri, Fernando Torres, Kun Aguero, Diego Forlan, Falcao, hingga Diego Costa yang subur di tim tentangga Real Madrid tersebut. Maka dari itu, perpindahan ke China akan sangat rasional untuk membantu memperbaiki karir bermainnya. Mungkin dia anggap di China itu bakalan gampang cetak gol. Hal yang sama patut diduga muncul dalam benak Guarin, Ramires, dan Gervinho. Apa lagi di klub sebelumnya mereka mulai dicadangkan pelatih masing-masing.

Boleh-boleh saja mereka berpikir begitu, mengingat apa yang terjadi dengan Paulinho. Ia digadang-gadang sebagai bintang baru Brasil, tetapi justru melempem di Tottenham Hotspurs. Akhirnya di musim panas 2015 dia hijrah ke China. Kesuksesan pun datang, ketika bersama Guangzhou Evergrande bisa memenangkan gelar China Super League. Potensi dirinya pun kembali muncul, seiring dengan kesempatan bermain sebagai pilar utama klub. Sebuah keadaan yang mengubah nasibnya dan mengembalikan kepercayaan dirinya pula. Hal yang sama tentu menjadi pemikiran para pemain yang memutuskan pindah ke liga China di bursa transfer sepakbola Januari kali ini.

Satu hal yang masih gue heranin sih soal Alex Texiera, yang sukses di Shakhtar malah pindahke Tiongkok. Sementara klub-klub liga Inggris banyak mengincarnya. Umur masih muda, penampilan sedang dalam puncak performa terbaik, apa lagi coba jika bukan uang? Ah, mungkin ini hanya gue yang berburuk sangka, da aku mah apa atuh. Kayaknya, karir Luiz Adriano di AC Milan sedikit mempengaruhi perpindahan pemain ini. Luiz Adriano yang sedang bagus-bagusnya di Shakhtar, berduet dengan Alex texiera di lini depan liga Ukraina, memutuskan pindah ke klub raksasa AC Milan yang sedang membangun kembali skuad utamanya demi merebut gelar. Eh, malang tak dapat ditolak, Luiz Adriano gagal bersinar di Italia dan memilih menuju China meskipun gagal. Alex Texiera tanpa berpikir panjang tentu langsung memilih China, daripada mesti muter dulu ke Inggris, Italia, atau yang lainnya. Hehe.

Dua pertanyaan di awal agak pertengahan artikel ini sudah terjawab. Tapi gue masih penasaran, apakah gebyar liga sepakbola China ini bakalan bertahan lama, atau hanya sementara saja. Semua tergantung pengelolaan liga itu sendiri. Toh China Super League bukan liga kemaren sore, sudah beberapa tahun digelar dan nyatanya mendatangkan untung. Gue yakin pula hal ini tak lepas dari dukungan pemerintah Tiongkok yang ingin memasarkan negerinya untuk menjadi tujuan wisata. Liga sepakbola dengan bintang besar dari liga Eropa tentu dapat mendatangkan wisatawan asing. Mau ketemu Ramires enggak usah ke Chelsea, cukup ke China. Ongkosnya lebih murah kalua dari Indonesia. Gue hanya berangan-angan kapan saatnya tiba Indonesia menyelenggarakan liga sepakbola semegah itu. Tak perlu lah jauh-jauh belajar menjalankan kompetisi sepakbola ke Eropa sana, cukup jalani pepatah Arab: carilah ilmu hingga ke negeri Tiongkok.

Comments

Popular posts from this blog

My Opinion About The Book: "Mata Malam"

My Opinion About The Book: "The Blackside: Konspirasi Dua Sisi"

My Opinion About The Book: "Gadis Pemberontak"