Teror Apa Teror?

Riuh menyapa negeri ini di awal 2016. Hiruk pikuk yang sudah lama hilang kembali muncul. Teror menggema di awal tahun baru. Dua pekan setelah pergantian tahun, teroris kembali menyerang Indonesia. Modus yang dilakukan pun cenderung baru. Kata orang sih identik dengan modusnya ISIS, jika mengacu kepada teror yang terjadi di Paris, Perancis. Selain meledakan bom, pihak teroris menyerang menggunakan senjata api. Teror yang terjadi tentunya berlipat ganda. Akan tetapi, dibalik teror yang terjadi, banyak spekulasi yang muncul. Ada yang berkata peristiwa ini merupakan setting belaka guna meningkatkan citra kepolisian di mata masyarakat. Ada juga yang mengatakan bahwa peristiwa ini hanyalah buatan pihak asing yang kedudukannya terancam di negeri ini.

Jika memang teror ini hanya untuk memperbaiki citra polisi, sudah barang tentu kita bisa tepiskan teori konspirasi yang satu ini. Demi nama baik, sebuah lembaga pemerintah mengorbankan beberapa nyawa, gue kira hal tersebut sangat konyol, meskipun ada peluang untuk itu. Gue pikir polisi enggak senekat itu, apa lagi melakukan adegan saling tembak dengan teroris itu di area ramai. Selain membahayakan publik, nyawa mereka juga turut terancam. Hal kedua yang membuat ini agak kurang memungkinkan, adalah terkait dengan sosok teroris yang menyerang. Untuk melakukan tindakan seperti ini, perlu keberanian yang luar biasa dari sosok peneror tersebut. Butuh doktrinasi yang lama untuk mencuci otak seseorang, hingga akhirnya mau melawan aparat di muka umum dengan menggunakan senjata api.

Gue yakin jika kepolisian takkan melakukan doktrinasi kepada seseorang untuk melawan kepolisian itu sendiri. Lain halnya jika ada lembaga lain yang melakukan doktrinasi. Enggak mungkin lah murid diajarin untuk nyerang guru. Gue aja yang pernah ditendang, ditoyor, ditampar, sama guru SMP, enggak pernah ada niat untuk balas dendam. Sayangnya dulu enggak ada KPAI – yang seperti pahlawan kesiangan, tiba-tiba nongol pas ada kasus pemukulan guru terhadap murid. Nah, balik lagi soal doktrinasi, sudah barang tentu jika ada yang melakukan pendidikan terhadap teroris, tentunya adalah pihak yang diuntungkan dengan adanya teroris itu sendiri. Pihak-pihak disini banyak sekali jenisnya, ada yang idealis, ada juga yang pragmatis.

Al-Qaeda, IRA, ISIS, Neo-Nazi, Freemason, Illuminati, Yahudi, Amerika Serikat, Polisi, Pemerintah, semua bisa menjadi pihak yang diuntungkan. Termasuk perusahaan tambang Freeport yang kebetulan di hari terjadinya serangan teror di Jakarta, sedang menghadapi masalah pelik. Di hari yang sama itu, PT Freeport Indonesia (PTFI) harus menegosiasikan terkait penyerahan saham kepada pemerintah yang dilakukan secara bertahap. Untuk menghindari kerugian, tentunya PTFI ingin menjual sahamnya dengan harga tinggi kepada pemerintah. Disamping untuk memperbanyak modal, hal ini juga dilakukan untuk mempersulit pemerintah itu sendiri. Biaya mahal dari APBN yang harus digelontorkan negara untuk membeli saham, tentu akan banyak mengorbankan budget untuk hal-hal lain yang lebih bermanfaat.

Menghindari sorotan publik, maka pihak-pihak yang sedang memiliki persoalan, tentu butuh pengalih perhatian. Gue pikir, jika media mengangkat cerita ini, tentu masyarakat akan berbondong-bondong mengumpulkan uang, sebagai bentuk dukungan kepada pemerintah agar mampu menguasai PTFI. Namun, berkat adanya peristiwa teror, hal tersebut tak menjadi kenyataan. Hingga akhirnya, meski ada pemberitaan di media, soal saham PTFI ini dikalahkan oleh berita profil siapa teroris yang ditembak mati di Thamrin. Hingga awal bulan Februari, nasib pembelian saham PTFI pun entah hilang kemana. Tertutup berita kopi beracun, organiasasi aliran sesat, dan kereta cepat, juga banyak lagi berita lainnya. Yang jelas teror kali ini memberikan keuntungan kepada beberapa pihak.

ISIS pun mendapat keuntungan dari hal ini. Mereka yang tadinya mulai redup – karena ada indikasi bahwa mereka ini hanya settingan negara adidaya – kini coba tampil kembali memberikan ketakutan kepada publik. Menunjukan bahwa mereka masih didukung, dan memiliki kekuatan. Meskipun menurut gue, ISIS ini didirikan hanya untuk tandem latihan tentara yang ada di Irak dan Suriah. Teknologi militer yang dikembangkan Amerika dan para pendukungnya, tentu harus di uji coba di lapangan. Nah, ISIS inilah teman latihan terbaik. Dengan digadang-gadang sebagai organisasi berlandaskan Islam, menjadi musuh terbaik bagi prajurit negara barat. Kita semua sudah pada tau dong soal gimana bencinya western community terhadap Islam, terutama sejak tragedi 9/11. Bak gayung bersambut, ISIS muncul untuk memperburuk citra Islam.

Berbagai macam peristiwa yang dialami prajurit Amerika di Irak tentu mendatangkan trauma dan aroma balas dendam di dalam sanubari segelintir mereka. ISIS menjadi obat penawar rindu bagi mereka yang hobinya tembak-tembakan. So, ISIS mendapat keuntungan, tapi kecil. Apa lagi jika mengacu landasan kenapa ISIS ini dibuat. Urusan perut, khususnya soal minyak di Irak yang melimpah dan tak terurus, menjadi target utama ISIS. Ini juga berlaku dengan teror di Libya, Tunisia, Pakistan, dan yang lainnya. Semua soal uang kok. Harga minyak yang mahal – sekarang sih lagi anjlok – tentunya menggiurkan bagi banyak pihak. Freeport aja mulai buka bisnis minyak, tapi berujung gagal. Investasi mereka hancur total, maka dari itu mereka berusaha memeras APBN Indonesia. Nyawa perusahaan Amerika yang satu ini bergantung pada PTFI.

Selain soal minyak, banyak uang berkeliaran dalam sebuah perang. Tukang senjata mana untung jika tak ada perang. Pengembangan taknologi militer tentunya akan sia-sia jika hasil dari penelitian berbiaya mahal itu tak dapat dipakai. ISIS, boneka negara barat itu, menjual minyak secara besar-besaran kepada entah siapa, tetapi kemudian mendapatkan biaya untuk pembaharuan senjata. Kita bisa lihat pada akun sosial mereka, begitu canggihnya ISIS, sehingga eksekusi matipun bisa ditayangkan di Youtube. Banyak anggotanya merupakan anak muda dari Eropa, bisa dilihat hubungannya disini, Eropa dan Amerika, mereka bersahabat. Masih enggak yakin juga jika ISIS ini hanya boneka?

Well, terlalu jauh gue ngebahas ISIS, entar malah kepedean lagi. Gue sih cuma bingung aja, di era informasi serba cepat ini, kenapa masih ada yang ketipu sama doktrin-doktrin begini. Gue lulusan SLTA aja ngerti soal ini, kok yang sarjana masih bisa dibegoin? Itu gelar dapet nyogok apa asli hasil berlajar lebih dari tiga tahun tong? Jangan mengaitkan teroris sama agama deh. Jihad ya jihad, nyari duit ya nyari duit aja. Nyari duit juga bisa jadi jihad, jika demi anak istri di rumah, itu kata guru ngaji gue. Itupun harus rezeki halal, agar menjadi berkah buat makan sekeluarga. Mau emangnya istri dan anak lu bawaannya ngajak berantem mulu, terus anaknya udah gede bandelnya minta ampun. You are what you eat men! Mereka kayak gitu tentu ada efek dari makanan yang dimakannya, halal apa enggak.

Miskin, pasti itu jadi alasan kenapa orang akhirnya melakukan hal-hal yang enggak rasional. Gue pikir sih itu alasan utamanya. Kesejahteraan memberikan ketenangan. Suami bawa duit, istri dan anak enggak perlu merengek minta uang belanja dan jajan. Kalau duit enggak ada, bisa dipastikan akan terjadi kisruh rumah tangga. Akhirnya suami nekad masuk ISIS terus bunuh diri, menjauh dari segala masalah kehidupan yang dihadapi. Dan mereka pikir itu jihad? Teror sesungguhnya ya kemiskinan itu sendiri. Gimana caranya biar enggak miskin lagi? Usaha. Bagaimana usaha yang membawa keuntungan? Usaha yang dimulai dari sekarang, untung enggak usah dipikirin. Allah pasti punya jalan keluar bagi mereka yang meminta jalan keluar pada-Nya. Bukan dukun, apa lagi teroris.

Allah maha pengasih dan penyayang, sejarang-jarangnya kita sholat dan ngaji, tetep aja kita bisa dapet duit, gimanapun caranya. Akan tetapi, buat yang rajin beribadah, berapapun pendapatan yang dihasilkan akan diterima dengan ikhlas, sehingga akhirnya enggak pernah merasa miskin. Miskin yang meneror itu hanyalah mindset. Lu ngerasa miskin karena lu lebih sering ngeliat artis dan pejabat di televisi, yang hidupnya terlihat mewah. Mereka kesana kemari pake mobil, makan di restoran, menginap di hotel, liburan terus kayak my trip my adventure. Mindset itulah teror yang sebenarnya, bukan aksi konyol di Jakarta kemarin.

Oh iya, sekarang ini lagi gencar-gencarnya media massa, baik dalam negeri maupun internasional, memberitakan tentang bahaya virus zika. Asal tau aja, obat itu ada pabriknya, mereka pasti mikir gimana caranya biar obatnya laku. Perusahaan dibangun tentunya biar untung dong, dan semua itu lagi-lagi soal uang. Udahan ah nulisnya, bisa-bisa banyak keceplosan. Satu hal terakhir, bacalah, bacalah, bacalah! Baca buku, baca berita, baca situasi, urutkan latar belakang peristiwa itu apa, gimana jalan ceritanya, apa tujuannya. Kita sebagai manusia harus cerdas, anugerah akal itu bukan hanya sekedar akal untuk egoisme pribadi saja, tapi untuk mengambil banyak pelajaran.

Comments

Popular posts from this blog

My Opinion About The Book: "Mata Malam"

My Opinion About The Book: "The Blackside: Konspirasi Dua Sisi"

My Opinion About The Book: "Gadis Pemberontak"