My Opinion About The Book: "Rahvayana 2: Ada Yang Tiada"
Judul: Rahvayana 2: Ada Yang Tiada
Penulis: Sujiwo Tejo
Penerbit: Bentang (PT Bentang Pustaka)
Tahun terbit: 2015, Januari
Nilai (antara 1 sampai 9): 8,5
Cover:
Welcome! Lagi-lagi
gue hadir di blog ini buat mereview salah satu karya buatan anak bangsa. Buku
Rahvayana 2, karangan mbah Sujiwo Tejo. Buku ini merupakan buku kedua dari
dwilogi Rahvayana yang ditulis mbah dalang nyentrik yang sering berkeliaran di
media sosial ini. Gue sendiri antusias dengan alternative version dari kisah
Ramayana ini. Soalnya, selain menambah pengetahuan gue akan legenda pewayangan,
cara penuturan mbah Tejo di dalam buku pertama yang ngocol, membuat gue
terhibur. Itu pula yang hadir dalam buku keduanya ini. Gue sangat mengapresiasi
karya sastra nyeleneh ini. Mungkin karena dunia nyata pun sudah mulai absurd,
se-ajaib apa yang dituliskan dalam bukunya mbah Tejo ini. Maka pikiran gue ini
selow aja gitu memaknai kisah Rahvayana yang unik hehe.
Beberapa saat yang
lalu buku edisi pertamanya pernah gue review juga guys. Waktu itu, Rahvayana
edisi satu, menggambarkan betapa galaunya Rahwana yang merindukan kekasihnya
yang bernama Sinta. Mulai dari surat, pelampiasan cinta kasihnya kepada seorang
anak yang menghampiri hidupnya beberapa saat, hingga sebuah naskah drama. Semua
tercipta dari benak Rahwana yang sedang kangen berat sama Sinta, yang entah ada
di mana. Ternyata, buku ini berlanjut pemirsah! Rasa rindu Rahwana akan Sinta
mulai terjawab. Akan tetapi, jawaban yang dinanti tak selamanya sesuai harapan.
Sosok raja raksasa ini akhirnya mengetahui sedikit demi sedikit tentang Sinta
yang ternyata telah menjadi milik orang lain. Sudah barang tentu ini sesuai
dengan kisah Ramayana yang sesungguhnya. Plot yang di twist dengan cara tak
terduga, membuat ending yang luar biasa dari kisah konyol ini.
Dalam edisi kedua
dwilogi Rahvayana ini, peran filsafat dan religi menjadi semakin dominan. Kecintaan
Rahwana kepada Sinta yang tak pernah hadir dalam hidupnya, terkesan mewakili
kecintaan manusia terhadap Tuhan. Terkaan dan dugaan pikiran manusia sebagai
makhluk, terkadang melebihi batas-batas yang seharusnya. Jika udah kelewat
batas kayak gitu, maka sang makhluk pencinta ini bisa saja kehilangan
kewarasannya. Namun, jika kita mengolah pikiran kita sewajarnya, dan tak melulu
bertanya akan sesuatu yang memang sudah seharusnya tak usah dipertanyakan, maka
akan lahir ide positif dan hikmah tentang hidup. Manusia enggak usah
pusing-pusing mikirin tentang sesuatu yang enggak usah dipikirin. Eyang Pram
pernah bilang, hidup itu simpel, yang bikin rumit itu kan penafsiran
manusianya. Kurang lebih seperti itu.
Kisah ini merupakan lanjutan dari buku sebelumnya, maka menjadi kewajiban bagi para
pembaca untuk membaca buku pertamanya terlebih dahulu, agar mengerti dengan
peran-peran yang muncul dari kisah ini. Juga jika telah membaca edisi
pertamanya, tentu tak akan kaget dengan penuturan mbah Tejo yang nyeleneh. Penambahan
peran disini, bisa saja membuat pembaca terkecoh, jika kita membaca novelnya dengan
tergesa-gesa. Gue sendiri sedikit mengalaminya ketika membaca buku ini dalam
keadaan mengantuk. Hehehe. Meski ngantuk, bukan berarti buku ini ngebosenin.
Itumah gara-gara guenya aja yang sering begadang, sehingga pas lagi
seru-serunya membaca Rahvayana 2 ini, gue diserang rasa kantuk yang tak
tertahan.
Sebetulnya
keabsurdan dari kisah Rahvayana ini, jika ditelaah dengan seksama, dan dengan
filosofi yang mendalam (sok iye banget ye, gue?!), merupakan bentuk karya seni
yang memberontak pakem yang telah menjadi acuan sebuah karya novel yang beredar
di publik Indonesia selama ini. Mbah Tejo mengajarkan cara menulis yang
sebebas-bebasnya bagi siapapun yang bercita-cita menjadi penulis. Juga
menggambarkan bahwa banyak loh kisah pewayangan yang bisa menjadi pelajaran
bagi kisah nyata di kehidupan kita ini. Enggak usah lah generasi muda terlalu
mengagung-agungkan karya seni dan sastra dunia barat. Cukup menggali budaya
pewayangan, maka makna kehidupan yang amat banyak bisa dipelajari. Hanya ada
satu kuncinya: Cinta. Jika kita menyintai apa yang ingin kita geluti, maka dari
manapun itu, mau budaya lokal sekampungan apapun itu, niscaya akan memberikan
kebijaksanaan bagi yang mau memahami. Karena pada dasarnya cinta itu pemahaman
kita secara menyeluruh akan sosok yang kita cintai. Bukan begitu?
Comments
Post a Comment