My Opinion About The Book: "Tasawuf Modern"

Judul: Tasawuf Modern (Bahagia Itu Dekat Dengan Kita, Ada Dalam Diri Kita)
Penulis: Prof. Dr. HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah)
Penerbit: Republika Penerbit
Tahun terbit: 2016, Januari (Cetakan ke-4)
Nilai (antara 1 sampai 9): 8,5
Cover:

Selamat sore guys!!! Balik lagi nih di blog gue, setelah sekian lama enggak update. Kali ini gue bakalan review salah satu buku yang gue baca di bulan Ramadhan kemaren. Buku karya sastrawan sekaligus ulama besar negeri ini: Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau yang biasa disingkat Hamka. Karya buya Hamka yang bakalan gue review sekarang adalah sebuah buku yang pertama kali dirilis di era sebelum Indonesia merdeka. Buku yang berjudul “Tasawuf Modern”. Beuh, berat amat ya sepertinya. Judulnya memuat kata ‘tasawuf’. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) versi online, kata ‘tasawuf’ sendiri memiliki arti ajaran untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah sehingga memperoleh hubungan langsung secara sadar dengan-Nya. Berarti ‘tasawuf’ ini bisa dibilang sebagai metode atau cara. Sementara modern sendiri memiliki arti terbaru atau mutakhir, segala sesuatu yang bersifat kekinian. “Tasawuf Modern” bisa dibilang sebagai ajaran terkini tentang cara mendekatkan diri dengan Allah. Baru dikupas judul bukunya aja udah menarik. Hmmm.

Buku ini diterbitkan pertama kali di tahun 1939, untuk memuaskan para pembaca setia majalah “Pedoman Masyarakat” yang hadir di pertengahan tahun 1930-an. Tasawuf Modern sendiri pada mulanya adalah sebuah kolom atau rubrik yang terdapat dalam majalah tersebut. Karena antusias pembaca yang begitu besar akan rubrik asuhan buya Hamka ini, maka kemudian artikel tersebut dibukukan. Dalam pengantar buku ini, buya Hamka telah menerangkan bahwa sebetulnya “Tasawuf Modern” murni hanya menyadur judul rubrik dalam majalah, tak ada maksud lain. Sementara isi buku ini sendiri lebih menitikberatkan pada pencarian kebahagiaan dalam hidup manusia sehari-hari. Buku ini bukan mengajarkan tentang ilmu tarekat yang dijalankan kaum Sufi. Meski menurut kaum Sufi, tarekat mereka juga bertujuan untuk mencari kebahagiaan hidup agar terhindar dari dosa dan dekat kepada-Nya. Seperti apa pengertian ‘Tasawuf’ di KBBI di atas.

Buya Hamka lebih mengajarkan kepada pembaca buku “Tasawuf Modern” ini, tentang makna kebahagiaan hidup yang utama. Kebahagiaan bisa didapatkan secara sederhana, tanpa harus meninggalkan kegiatan duniawi, kemudian terus duduk diam di masjid, berdo’a dan memohon ampunan-Nya. Meski itupun merupakan hal baik, akan tetapi menurut buya Hamka, lebih baik lagi jika manusia – khususnya umat Islam – menjalankan hidup secara seimbang antara mencari dunia, dan beribadah demi kehidupan akhirat kelak. Buya Hamka menilai kebahagiaan seseorang itu ditentukan oleh beberapa faktor. Agama menjadi faktor utama mengantarkan manusia pada kebahagiaan. Dengan agama, manusia diajarkan untuk berbudi luhur, memiliki etika, mengagungkan moral, juga memanfaatkan akalnya sesuai dengan ajaran Tuhan. Budi dan akal itulah yang menjadi faktor berikutnya. Kemudian disusul dengan kesehatan jiwa dan raga, dan diakhiri dengan mata pencaharian yang halal, yang bisa menghidupi keluarga dan memenuhi kebutuhan.

Semua faktor-faktor itu disandingkan dengan pendapat dari banyak ahli filsafat dunia, mulai dari Aristoteles, Plato, Leo Tolstoy, Nietsche, Bertrand Russel, hingga Al-Ghazali, dan ada pula yang lainnya. Pemikiran para filsuf dunia itu tentang apa makna kebahagiaan, diterangkan sedemikian rupa, lalu diselaraskan dengan pendapat buya Hamka, sehingga menjadi sebuah penjelasan yang bernas akan apa arti bahagia. Namun, bahagia adalah hal yang menjadi tujuan hakiki manusia dalam hidupnya. Kadar kebahagiaan memang ditentukan oleh sanubari manusia itu sendiri. Jika indikator kebahagiaan saat ini adalah banyak dan sedikitnya kekayaan, buku ini menggambarkan sebuah contoh. Siapa yang selalu merasa kurang dan rakus akan kekayaan, maka kebahagiaan sulit untuk hinggap dalam hidupnya. Sementara siapa saja yang merasa cukup dan pandai bersyukur, besar kecil kekayaan tak jadi soal bagi dirinya, maka itulah manusia yang berbahagia. Begitu sedikit isi dari salah satu best seller buya Hamka.

Buku yang ada di tangan gue ini merupakan edisi baru yang dicetak penerbit Republika. Emang udah jadi hal yang wajar, penerbit Republika merilis kembali buku ini. Topik yang disuguhkan dalam buku masih relevan dengan keadaan bangsa saat ini. Meski ada sedikit perbedaan tata cara penulisan yang masih mengacu pada ejaan lama, tapi enggak mengurangi pemahaman atas esensi yang coba disampaikan. Hal menarik yang gue baca di pengantar buku ini, berasal dari pengantar cetakan ke-12 yang terbit di tahun 1970, adalah tentang peristiwa penangkapan buya Hamka setahun jelang tragedi ’65 terjadi. Pertarungan ideologi di era pemerintahan bung Karno memang begitu keras, enggak seperti sekarang. Saling tawan, saling teror, ditangkap paksa, dibuang, diasingkan, bahkan dieksekusi mati karena perbedaan idealisme, menjadi hal yang biasa terjadi kala itu. Beruntunglah kita hidup di masa sekarang. Oh iya, buku ini mengajarkan sedikit filsafat tentang makna hidup. Siapapun yang ingin belajar filsafat, monggo dicek bukunya. Apalagi jika memang perasaan kita enggak tenteram dalam menjalani hidup sehari-hari, dan bingung mencari apa tujuan hidup kita sebagai manusia, maka buku ini cocok sebagai pengantar.

Comments

Popular posts from this blog

My Opinion About The Book: "Mata Malam"

My Opinion About The Book: "The Blackside: Konspirasi Dua Sisi"

My Opinion About The Book: "Gadis Pemberontak"