My Opinion About The Book: "What I Talk About When I Talk About Running"

Judul: What I Talk About When I Talk About Running
Terjemahan dari: ‘Hashiru Koto ni Tsuite Kataru Toki ni Boku no Kataru Koto’ terbitan Bungeishunju Ltd., Japan, 2007
Penulis: Haruki Murakami
Penerbit: Bentang (PT Bentang Pustaka)
Penerjemah: Ellnovianty Nine Sjarif & A. Fitriyanti
Tahun terbit: 2016, Mei(Cetakan Ke-2)
Nilai (antara 1 sampai 9): 8
Cover:

Sorot matahari terik di luar sana enggak matahin semangat gue buat nulis review buku ini guys. Silahkan duduk tenang, dan mulai membaca tulisan gue. Resensi kali ini adalah tentang tulisan karya Haruki Murakami, seorang novelis asal negeri Sakura, yang terkenal dengan novel Norwegian Wood. Nanti gue review juga deh novelnya kalo gue udah nemu dan baca novelnya. Bagi yang punya silahkan komentar di postingan ini. Gue siap pinjem bukunya. Hahaha. Buku ini unik guys. Judulnya What I Talk About When I Talk About Running. Berisi catatan harian yang ditulis eyang Haruki tentang pengalamannya sebagai penulis sekaligus sebagai pelari maraton. Eyang Haruki sendiri menyatakan jika tulisan di buku ini bisa dianggap sebagai memoar pribadinya.

Kisah bermula di Hawaii, om Haruki lagi latihan ekstra keras demi mempersiapkan fisiknya di usia senja, demi menempuh lomba maraton tahunan yang akan digelar di New York tahun 2006. Sebuah persiapan yang kalo menurut gue enggak sembarangan. Berlari lebih dari belasan hingga puluhan kilometer hampir tiap hari, demi perlombaan yang akan datang, membuat diri gue iri akan kemampuan sang kakek dari Jepang ini. Dalam tahap persiapan inilah, Eyang Haruki mengenang awal mulanya tertarik dengan dunia lari. Khususnya lari maraton. Menurutnya, maraton berbeda dengan lari cepat. Jarak 42 kilometer sebagai batas bagi lari maraton penuh, membuat seorang pelari tak hanya harus memiliki kecepatan baik untuk memenangkan lomba. Seorang pelari maraton juga harus memiliki daya tahan tubuh dan kesabaran yang luar biasa. Karena jika kita berlari sekuat tenaga sejak garis start, maka garis finish lomba maraton hanya akan berada di dalam angan semata. Begitu ceritanya.

Ketahanan fisik itulah yang harus dikembangkan melalui latihan lari yang konsisten. Eyang Haruki membagi beberapa tips akan hal ini. Ia lalu teringat awal mula menjadi penulis. Sebagai seorang penikmat musik jazz yang coba membuka bar bertema hal itu, pada suatu waktu tiba-tiba ia ingin menulis novel. Maka terjadilah. Bisnis cafenya ditutup, lalu ia menjadi penulis. Kesadaran untuk menjaga fisik agar tetap prima muncul setelah beberapa lama ia menghabiskan hidupnya menjadi penulis. Sebagai penulis, eyang Haruki harus duduk berlama-lama di depan meja hanya untuk fokus menulis. Kegiatan itu akhirnya membuat badan eyang mulai enggak fit. Maka beliau memutuskan untuk berlari. Seperti apa yang gue tulis di paragraf sebelumnya, eyang Haruki yang introvert – semua tertuang dalam buku ini, baik tersirat maupun tersurat – memilih maraton karena ia bisa berlari dengan sabar, santai, dan bisa menikmati pemandangan di sekelilingnya.

Lomba maraton, juga triatlon, sengaja diikutinya untuk memotivasi diri agar terus menjaga kesehatannya. Dengan tubuh yang sehat, novel berkualitas terbukti bisa lahir dan berhasil menghibur banyak pembaca di berbagai negara. Tanpa lomba-lomba itu, mana mungkin beliau akan meluangkan waktu di tiap harinya untuk berlari jarak jauh, begitu alasan yang diungkapnya. Selain itu, dengan mengikuti lomba di berbagai lokasi, ia mendapatkan kesempatan untuk keliling dunia dan mengenal banyak orang, termasuk para pembacanya. Selain tips dan kisahnya soal lari, eyang Haruki juga menghubungkan pengalaman-pengalaman berlarinya dengan beberapa karya yang dibuatnya. Kita digiring ke masa ia mendapatkan ide-ide cemerlang tentang tema tulisannya.

Judul buku ini sendiri merupakan plesetan dari judul novel salah satu penulis favorit eyang Haruki: Raymond Carver, yaitu “What We Talk About When We Talk About Love”. Beragam pengalaman kehidupan sehari-hari penulis kelas dunia tergambar di buku ini. Bahkan eyang Haruki bisa memunculkan nilai-nilai filsafat dari semangat, rasa lelah, dahaga, hingga kepekaan panca indera sehari-hari ketika menyusuri rute lari yang biasa dilaluinya. Untuk lebih jelas, silahkan baca bukunya. Lumayan banyak beredar kok di toko-toko buku gede saat ini. Enggak bakalan nyesel deh bacanya.

Comments

Popular posts from this blog

My Opinion About The Book: "Mata Malam"

My Opinion About The Book: "The Blackside: Konspirasi Dua Sisi"

My Opinion About The Book: "Gadis Pemberontak"