My Opinion About The Book: "Kembang Jepun"

Judul: Kembang Jepun
Penulis: Remy Sylado
Penerbit: Gramedia (PT Gramedia Pustaka Utama)
Tahun terbit: 2003, April (Cetakan Kedua)
Nilai (antara 1 sampai 9): 8,3
Cover:

Selamat sore guys! Selamat datang di blog gue yang lucu dan imut alias berlumut karena jarang dikunjungi ini hehehe. Setelah mendapat beberapa buku dari seorang teman. Buku pinjeman inilah yang akhirnya bisa gue ulas, guna menjalankan roda blog yang tersendat. Gimanapun caranya, mesti dilanjutin lagi nulis-nulis di blognya, cuz salah satu saluran gue untuk berinteraksi dengan dunia luar via dunia maya ya... lewat blog inilah salah satunya. Sekarang di tangan gue ada sebuah novel karya Remy Sylado, berjudul “Kembang Jepun”. Om Remy ini gue kenal sebagai salah satu seniman komprehensif yang menguasai berbagai bidang seni, mulai dari akting hingga menulis. Semua berjalan tanpa adanya ketimpangan. Saat berakting, beliau sungguh-sungguh serius, begitu pula saat menulis. Meski novel ini adalah karya pertama beliau yang gue baca. Sebelumnya sempet sih baca karya novel om Remy yang lain, tapi enggak tamat. Saat itu, gue enggak begitu doyan baca novel. Seandainya beliau menulis komik, gue mungkin enggak bakalan terlambat mengagumi cara menulis om yang satu ini. Hehehe.

Kembang Jepun bercerita tentang kehidupan Keke, seorang gadis muda asal Minahasa, Sulawesi Utara, yang menjadi geisha di Surabaya, di era krisis ekonomi akhir tahun 1920-an. Sebenarnya gadis ini terjebak dalam perdagangan perempuan yang dilakukan oleh kakak kandungnya sendiri dengan seorang Jepang bernama Kotaro Takamura pemilik tempat hiburan Shinju di dekat jembatan merah. Keke menjadi sosok gadis yang menarik lagi cantik yang akhirnya menjadi primadona Shinju, hingga membuat Yoko, seorang gadis asli dari Jepang, yang menjadi guru dan juga salah satu pesaingnya, menjadi sirik enggak ketulungan. Keke yang populer sebagai Keiko kemudian bertemu cinta sejatinya di Shinju. Lelaki bernama Tjak Broto membuatnya jatuh cinta. Mereka berdua saling cinta dan bertekad hidup bersama. Akan tetapi, bermacam masalah mendera keduanya. Berawal dari dipenjaranya Tjak Broto oleh pemerintah Belanda, lalu pernikahan yang tak mendapat restu, hingga pendudukan Jepang yang berujung perpisahan, membuat kisah cinta Keke dan Tjak Broto penuh penderitaan. Bagaimana mereka bertahan? Apakah mereka mampu kembali bersama? Monggo dibaca sendiri aja guys novelnya.

Om Remy betul-betul mampu mengemas rasa kesel, gemes, sedih, terharu, dan segala macam perasaan lainnya dalam satu cerita. Selain sebuah kisah antara dua manusia, novel ini juga menggambarkan situasi politik dan ekonomi dunia masa awal abad 20. Pergantian kekusaan dari mulai Belanda, Jepang, hingga kemerdekaan Indonesia pun terdokumentasi di dalamnya. Mulai dari perdagangan perempuan asal wilayah timur nusantara yang terjadi di Surabaya era pemerintahan Belanda, aktivitas tokoh pergerakan pra kemerdekaan di Surabaya, peristiwa 10 November 1945, pemberontakan di Sulawesi pada era Soekarno dan situasi ekonomi Indonesia saat itu, hingga sindiran terhadap para pemberontak yang menjadi penjabat di masa orde baru, semua direkam dengan baik dalam novel ini. Gue sendiri pun seolah membaca buku sejarah, enggak hanya baca novel cinta kinyis-kinyis semata. Novel ini pula yang akhirnya membuat gue penasaran sama novel-novel om Remy Sylado yang lainnya. Jadi, buat yang punya novel karya beliau, boleh dong gue pinjem? Hehehe.

Oh iya, tentang cara menulis om Remy dalam novel ini, menurut gue seperti cara menulis para novelis Jepang. Gue sendiri, pas baca novel ini, terus teringat pada karyanya Yasunari Kawabata “Daerah Salju”, sebuah novel yang gue baca beberapa waktu lalu. Kebetulan temanya sama, mengangkat kehidupan seorang geisha. Selain itu, hampir serupa pula dengan cara bertutur Haruki Murakami. Meski cara bertutur dua novelis Jepang itu gue dapet dari versi terjemahan, tapi “Kembang Jepun” mengingatkan gue akan hal itu. Entah hal ini disengaja karena novel om Remy yang satu ini bernuansa Jepang, atau memang cara bertutur om Remy yang lumrah, ya... yang seperti itu?! I don’t really know... Gue belum baca karya om Remy yang lainnya sih. Mangkanya pinjemin dong. Haha. Terakhir, gue sih merekomendasikan para pembaca buat membaca novel ini. Menikmati alur ceritanya sambil meminum secangkir teh manis atau kopi, diiringi musik tradisional Jepang. Biar lebih adem. Sampai jumpa.

Comments

Popular posts from this blog

My Opinion About The Book: "Mata Malam"

My Opinion About The Book: "The Blackside: Konspirasi Dua Sisi"

My Opinion About The Book: "Gadis Pemberontak"