My Opinion About The Book: "Kisah Pi"

Judul: Kisah Pi
Terjemahan dari: ‘Life Of Pi’ terbitan Westwood Creative Artists Ltd., 2011
Penulis: Yann Martel
Penerbit: Gramedia (PT Gramedia Pustaka Utama)
Penerjemah: Tanti Lesmana
Tahun terbit: 2013, Januari (Cetakan Ketujuh)
Nilai (antara 1 sampai 9): 8,4
Cover:

Selamat datang di dunia maya... hehehe. Itu mah lirik pembuka dari salah satu lagunya Homogenic, salah satu kelompok musik dari kota Bandung. Tau enggak?! Tapi tujuan gue nulis sekarang bukan ngebahas soal musik. Kali ini, lagi-lagi gue bakalan review sebuah novel yang gue pinjem dari temen. Sebuah novel karya seorang penulis asal Kanada, bernama Yann Martel. Novel yang telah dibuat filmnya, dan berhasil menjadi box office karena kisahnya: Life Of Pi. Nah, novel terjemahan yang gue baca ini pun mengubah judul tadi menjadi “Kisah Pi”. Tapi dengan terjemahan yang begitu apik, hingga perubahan bahasa tersebut tidak mengubah makna cerita yang coba disampaikan penulis kepada publik. Mungkin terjadi beberapa penyesuaian sedikit di sana sini, tapi itupun hanya untuk menyesuaikan dengan budaya kita, tanpa mengubah pemaknaan dari kisah tersebut. Dan kalo menurut gue sih, jika pada terjemahannya enggak ada perubahan yang kecil-kecil itu, akan sangat mungkin pesan yang coba disampaikan malahan tidak akan tersampaikan secara maksimal.

Seperti pada filmnya, yang udah gue tonton berkali-kali, novel ini bercerita tentang kisah hidup Pi Patel yang berhasil mengarungi samudera pasifik seorang diri setelah menjadi satu-satunya korban selamat dari tenggelamnya sebuah kapal yang dinaikinya bersama keluarga, juga binatang-binatang yang berasal dari kebun binatang milik keluarganya di India. Kisah survival alias perjuangan untuk bertahan hidup di lautan tersebut semakin menantang, ketika seekor harimau turut menjadi teman setia perjalanannya. Kisah seorang anak lelaki dan harimau yang bisa hidup secara bersama-sama di atas sebuah sekoci melintasi samudera tersebut, membuat Pi Patel semakin yakin akan keberadaan Tuhan. Namun, tak hanya cerita tentang laut itu saja yang menarik hati. Kehidupan Pi ketika menghabiskan masa kecilnya di India merupakan suatu pencarian akan Tuhan. Mengamati binatang-binatang yang berada dalam kebun binatang yang dikelola oleh sang ayah, pertemuannya dengan guru sekolahnya yang ateis, juga pengalamannya menjalani ritual tiga religi yang ada di India, Hindu-Kristen-Islam, membuatnya bertanya-tanya mengapa ada berbagai macam kepercayaan dan iman dalam kehidupan.

Mungkin banyak yang bilang kalo apa yang gue tulis ini basi. Toh novel dan filmnya udah beredar sejak lama. Bahkan, di televisi udah sering banget ditayangin dengan berbagai editan yang teramat kejam, sehingga alur cerita hanya berfokus pada anak lelaki dan harimau di tengah laut. Akan tetapi, menurut gue sih, versi novelnya masih layak dibahas. Novel ini sebenernya lebih cenderung atau bisa dikatakan sebagai novel filsafat. Pencarian terhadap sesuatu yang maha, yang gaib, yang menciptakan segala sesuatu, pencarian Tuhan. Ketika si tokoh utama sedang mencari dimana Tuhan berada, di lautan teduh itulah akhirnya sang tokoh bertemu dengan Tuhan yang menunjukan kedigdayaan-Nya. Tak lupa Om Yann mempertanyakan tentang keanekaragaman agama yang hadir di dunia, tapi saling berseteru. Padahal semua agama percaya akan Yang Maha Esa tersebut, semuanya percaya akan kedamaian yang dapat dicapai ketika sosok penganut agama benar-benar mengimani agama yang dianutnya. Bahkan, ada bagian novel yang tentu bila diangkat ke dalam film akan menimbulkan perpecahan antaragama. Sebuah bagian yang mengisahkan pertemuan tiga pemuka agama dari tiga agama yang eksis di India (Hindu-Kristen-Islam) dengan Pi dan keluarganya pada saat berlibur di pantai. Perdebatan keras pun muncul demi memperebutkan seorang anak lelaki yang polos, bernama Pi, untuk menjadi pengikut dari salah satunya.

Novel “kisah Pi” ini sangat layak dibaca untuk sosok-sosok penggemar filsafat, yang senang dengan cerita njelimet macam “Dunia Sophie”. Tentu dengan pesan-pesan yang berbeda. Jika filsafat pada umumnya, seperti pada mahakarya Jostein Gaarder yang gue sebut tadi, tidak mengarahkan pembacanya untuk percaya pada Tuhan, om Yann justru berusaha membuktikan keagungan-Nya di novel ini. Memang, pada dasarnya filsafat mengantarkan penikmatnya ke alam pemikiran. Menelaah apapun yang mewujud di dunia, memaknainya, dan meyakininya sebagai sebuah pribadi yang hidup mandiri dengan beribu alasan logis yang bisa dicari, atau sebagai sebuah hasil penciptaan Tuhan. Gue sendiri sih percaya akan keberadaan Yang Maha Esa, meski masih teramat kurang dalam hal pemahaman agama dan kerajinan dalam beribadah. Semoga masih diberi umur supaya bisa mempertebal keimanan. Sampai jumpa di lain waktu.

Comments

Popular posts from this blog

My Opinion About The Book: "Mata Malam"

My Opinion About The Book: "The Blackside: Konspirasi Dua Sisi"

My Opinion About The Book: "Gadis Pemberontak"