My Opinion About The Book: "Maryam"
Judul: Maryam
Penulis: Okky Madasari
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2013, Februari (Cetakan Kedua)
Nilai (antara 1 sampai 9): 8,3
Cover:
Selamat datang di
blog gue, guys! Sudah lama sekali rasanya gue enggak nulis-nulis lagi di mari, karena
gue jarang buka blog ini. Bukan karena lupa password, bukan pula karena malas,
tapi emang karena enggak sempet aja buka blog. Energi gue tersedot habis fokus
menulis beberapa karya yang semoga saja berhasil mendapat tempat di hati para
penerbit. Mudah-mudahan ada penerbit yang sehari-harinya kurang tidur, lalu
tanpa sengaja memutuskan untuk menerbitkan naskah tulisan gue yang enggak
seberapa itu. Aamiin. Hehehe. Btw, kali ini gue mau ngebahas salah satu novel
berjudul “Maryam” karangannya Okky Madasari. Mbak Okky ini seorang novelis
terkenal yang namanya udah enggak perlu ditanya lagi di dunia perbukuan negeri
kita tercinta. Semoga kelak bisa kenalan sama dia deh. Oh iya, novel ini gue
dapet dari seorang teman yang kebetulan bersedia dengan rela tulus ikhlas
meminjamkannya ke gue. Beruntunglah gue yang bisa dapet bacaan bermutu secara
gratis. Hehe.
Dari judulnya sih
mungkin kalian udah pada bisa tebak jikalau judul tersebut sekaligus merupakan
nama tokoh utama yang menjadi pusat cerita. Maryam adalah seorang perempuan
asal Lombok yang dalam hidupnya akrab dengan masalah. Tanpa bisa memilih lahir
dari rahim siapa dan berasal dari keluarga yang seperti apa, Maryam pun lahir
ke dunia di tengah-tengah keluarga penganut Ahmadiyah yang taat, sekaligus
tokoh desa yang hidup berkecukupan. Kata ‘sesat’ menjadi akrab di telinga
Maryam, yang membuat dirinya mendapat serangkaian kesulitan karena keyakinannya
itu. Mulai dari gagal menikah dengan Gamal seorang penganut Ahmadiyah yang
menghilang entah kemana setelah menyadari keyakinan yang dianutnya sesat,
kemudian menikah hingga akhirnya bercerai dengan Alam, meski Maryam telah
menggadaikan keimanannya demi bisa hidup bersama di Jakarta. Pernikahan yang
membuatnya putus hubungan dengan keluarganya di Lombok. Dalam kondisi putus asa
setelah bercerai, Maryam kembali ke Lombok. Tak disangka, keluarganya tak lagi
berada di desanya. Keyakinan yang dianggap sesat itu, membuat mereka terusir
dari kampung halamannya sendiri. Lantas bagaimana nasib keluarga Maryam? Bagaimana
hidup Maryam selanjutnya? Monggo dicari novelnya, lalu baca sendiri sampe tuntas!
Mbak Okky dengan
berani bak srikandi mengangkat tema yang menurut gue sensitif bagi sebagian
masyarakat muslim negeri ini: Ahmadiyah. Aliran yang dianggap sesat, bahkan
termaktub dalam sebuah fatwa MUI bahwa mereka sesat, dan bukan bagian dari
Islam. Meskipun ritual agama dan sebagian besarnya nyaris serupa dengan Islam.
Walaupun demikian, mbak Okky justru mampu dengan ciamik mengupas sisi lain dari
hidup para penganut Ahmadiyah itu dari sudut pandang yang tidak menghakimi.
Novel ini mampu mengangkat simpati dan empati pembacanya. Menggali naluri
kemanusiaan yang mungkin terbenam amat dalam di hati pembaca yang mungkin di
antaranya kadung turut menghakimi kesesatan aliran Ahmadiyah ini. Wajar saja
jika akhirnya novel “Maryam” mendapatkan penghargaan atas usahanya membuka
sudut pandang lain bagi para pembaca guna menyikapi kondisi sebuah keyakinan
yang dianggap sesat. Boleh saja kita menghakimi keyakinan seseorang itu baik
atau buruk, selama kita tidak melupakan bahwa mereka yang kita hakimi itu
manusia, yang bisa saja berubah di kemudian hari. Worthfull!
Novel ini dengan
tegas mempertanyakan kehadiran negara dalam kasus-kasus kekerasan yang diderita
oleh kaum minoritas. Sebagai warga negara Indonesia, di mana negara ini
menyatakan diri sebagai negara berlandaskan hukum, mayoritas tak bisa seenaknya
menyerang minoritas yang mereka anggap salah. Semua orang berhak dengan setara
mendapatkan perlindungan dari negara. Inilah yang menjadi gugatan mbak Okky
dalam karyanya. Dalam konteks sesat atau tidak, gue sendiri manut pada MUI yang
berisi ahli agama yang benar-benar menguasai bidangnya. Akan tetapi, sebagai
warga negara, tentu hukum harus dikedepankan dalam menyikapi kehadiran sebuah
aliran sesat. Negara harus mampu bersikap sebelum warga yang resah main hakim
sendiri. Meski pada akhirnya sikap negara itu pasti akan menimbulkan ekses
kurang baik bagi kaum minoritas tertuduh yang dimaksud. Mungkin kaum minoritas
yang dianggap sesat itu tak lagi mendukung pemerintahan atau paling buruk bisa
saja memberontak. Akan tetapi, negara harus mengambil sikap meskipun dengan
konsekuensi menjadi tidak populer.
Agama alias
keyakinan memang berujung pada iman, kekuatan hati yang percaya. Tak mungkin
kita memaksa seseorang meninggalkan keyakinannya secara paksa, dan hal itu
dijamin oleh negara. Keimanan dalam diri seseoranglah yang bisa menggerakan
dirinya untuk berpindah keyakinan. Ahmadiyah boleh sesat, dan menurut fatwa MUI
memang demikian. Namun, hal itu tak boleh membuat kita bisa berlaku seenaknya
kepada mereka. Pesan novel “Maryam” ini jelas: kekerasan bukan solusi.
Pengusiran dan pembubaran komunitas aliran tersebut tidak menjadikan mereka
mengubah imannya. Justru sebaliknya, setiap derita yang mendera membuat mereka
meyakini bahwa apa yang mereka imani itu benar. Mereka menganggap segala
penderitaan sebagai ujian dari Tuhan. Dialog mungkin menjadi solusi, paparkan
apa yang menurut kita benar, dan beri mereka kesempatan yang sama untuk
memaparkan apa yang mereka anggap benar, lalu kita biarkan Tuhan yang melakukan
sisanya. Akhirnya, gue cuman bisa bilang kalau novel ini layak dibaca. Bye!
Comments
Post a Comment