My Opinion About The Book: "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas"

Judul: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: Gramedia (PT Gramedia Pustaka Utama)
Tahun terbit: 2016, Mei (Cetakan Keempat)
Nilai (antara 1 sampai 9): 8,6
Cover:

Selamat pagi Guys! Balik lagi di blog gue yang udah jamuran ini nih. Udah sangat amat lama dari waktu terakhir gue nulis di blog ini. Maklum aja, gue lagi sibuk nulis di tempat lain, jadinya blog pribadi yang enggak seberapa ini jadi enggak keurus. Karena enggak seberapa itulah, mungkin, jadinya gue enggak begitu peduli sama isinya. Nyatanya, blog ini harus gue urus sesuai dengan komitmen gue di awal pendiriannya. Kali ini gue kembali mengulas buku yang gue telah baca. Sebuah novel berjudul “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas” hasil karya Eka Kurniawan. Seorang penulis novel yang namanya mulai mengharumkan dunia kepenulisan Indonesia di kancah internasional. Novel satu ini bukan salah satu yang gue tebus pake uang dari gerai buku konvensional maupun online, jadi enggak ada tuh pengantar yang biasa gue tulis di review sebelumnya. Gue enggak beli ini buku gara-gara penasaran sama judulnya, ngefans sama penulisnya, atau tergelitik sama warna dan desain cover, sama sinopsisnya, or whatever. Novel ini berada di tangan gue atas berkat kerjasama pemiliknya yang sudi meminjamkan koleksinya.

Langsung aja, gue bakalan cuplik sedikit karya sastra fiksi yang satu ini. Novel ini bercerita tentang Ajo Kawir yang mencari ‘jati diri’. Bolehlah dibilang begitu. Dibantu sahabatnya Si Tokek, keduanya adalah pemuda harapan bangsa yang coba melawan congkaknya dunia. Berawal dari perbuatan iseng dua pemuda itu di kala masih berusia abg, berujung tragedi yang membuat Ajo Kawir menderita sebuah penyakit yang membuatnya – istilah kerennya sih – lemah syahwat. Hal tersebut membuat Ajo Kawir kalang kabut, karena kehilangan kemampuan ereksi, rasa percaya dirinya sebagai seorang pria sejati perlahan melemah. Untuk coba menguatkan kembali kejantanannya, ia lampiaskan dengan berkelahi. Di samping mencari cara untuk menyembuhkan penyakitnya baik secara medis ataupun klenik. Dalam sebuah perkelahian bertemulah Ajo Kawir dengan Iteung, seorang gadis yang mampu menarik hatinya. Sang gadis pun kepincut karenanya. Namun rahasia Ajo Kawir tentang kejantanannya itu membuat segalanya menjadi rumit. Selanjutnya, monggo dibaca novelnya guys.

Pertama kali yang mau gue komentarin adalah soal ide cerita. Entah gimana caranya kang Eka ini bisa kepikiran sebuah cerita yang dilandasi oleh tegang atau tidaknya kelamin pria. Pada saat seperti apa, kondisi yang bagaimana, kang Eka ini bisa kepikiran hal absurd begitu. Unik. Jujur, gue sendiri bingung menentukan, ini masuk novel komedi, aksi laga, misteri, atau drama cinta versi ekstrim, yang jelas isinya menghibur. Di mata gue, seperti Yoko yang kehilangan sebelah tangan, Ajo Kawir yang juga kehilangan fungsi salah satu bagian tubuhnya yang vital, nampak bagai seorang tokoh protagonis dunia persilatan. Kemudian ia bertemu dengan Bibi Lung – disini Iteung maksudnya – yang kemudian menjalin kisah roman njelimet enggak berkesudahan. Konflik dan alur ceritanya bikin penasaran, sehingga gue memaksakan diri untuk menghabiskan waktu seharian demi membereskan novel ini dalam sekali baca. Sekali buka halaman pertama, enggak bisa lepas karena rasa penasaran yang begitu dalam. Salah satu karya yang bikin emosi gue campur aduk guys.

Novel ini membuat gue tercengang. Guenya yang kampungan, sehingga ngerasa ini adalah sebagai salah satu bacaan bagus yang pernah gue baca – karena mungkin aja di luar sana ada karya yang lain yang lebih bagus lagi – atau emang kang Eka yang teramat jago, hingga membuat sebuah karya yang out of the box tapi tetap menarik hati. Mungkin ketidak-bangunan ‘burung’ Ajo Kawir beserta hidupnya mengandung filosofi mendalam yang tersembunyi. Namun, gue sendiri belum bisa nemuin maksud terselubung dalam alur cerita yang begitu fantastis ini. Jelasnya, memang menjadi hal lumrah dalam kebudayaan kita bahwa keperkasaan kaum pria ditunjukan melalui kemampuan alat vitalnya. Akan tetapi, lewat novel ini, kang Eka coba menunjukan bahwa tanpa keperkasaan si ‘burung’, seorang pria akan tetap terlihat kejantanannya dengan cara-cara lain. Ajo Kawir menjadi simbol keperkasaan pria dalam bentuk lain, tanpa harus menunjukan kemampuannya di atas ranjang. Mungkin bisa saja novel ini ditulis untuk mewakili uneg-uneg kaum pria (maaf) lemah syahwat, yang dianggap tamat karirnya sebagai pria karena ketidak-mampuannya. Mungkin pula novel ini ditulis sebagai ungkapan rasa jengah kang Eka akan segelintir kaum pria mesum yang seumur hidupnya hanya mementingkan urusan nafsu semata. Urusan nafsu yang akhirnya bahkan mengorbankan seorang anak kandung, atau murid SD, juga yang lainnya. Yang jelas, ini adalah sebuah novel penuh kata-kata tabu tetapi sama sekali enggak menunjukan kevulgaran. Menarik. Berbeda. Unik. Layak baca.

Comments

Popular posts from this blog

My Opinion About The Book: "Mata Malam"

My Opinion About The Book: "The Blackside: Konspirasi Dua Sisi"

My Opinion About The Book: "Gadis Pemberontak"