My Opinion About The Book: "Ikan-Ikan Dari Laut Merah"
Judul: Ikan-Ikan Dari Laut Merah
Penulis: Danarto
Penerbit: DIVA Press
Tahun terbit: 2016, Desember
Nilai (antara 1 sampai 9): 8,1
Cover:
Selamat malam,
guys! Kembali lagi di blog gue yang kurang diperhatikan ini. Kali ini gue bakal
membahas sebuah karya dari salah satu cerpenis handal milik bangsa, yakni eyang
Danarto. Buku kumpulan cerpen ini berjudul “Ikan-Ikan Dari Laut Merah”. Gue sendiri
baru baca versi rilisan akhir tahun 2016 ini, tapi nyatanya kumpulan cerpen ini
sempat rilis di masa lalu dengan judul “Kacapiring”. Dua judul tersebut
termasuk ke dalam dua judul cerpen di antara 18 cerpen yang tercantum di dalam
buku ini. Jujur saja, gue termasuk yang cukup kesulitan bila harus membahas
buku kumpulan cerpen macam begini. Begitu banyak alur cerita yang unik dengan
nasib beragam karakter di dalamnya, membuat gue terkagum-kagum dengan imajinasi
eyang Danarto yang begitu melompat-lompat, sehingga mampu mengundang
interpretasi yang berbeda-beda dari pembaca karya-karyanya.
Cerpen pembuka
dalam buku ini berjudul “Jantung Hati”. Lagi-lagi, perasaan kehilangan mungkin
adalah syarat mutlak dari cerpen-cerpen karya cerpenis handal negeri ini. Cerpen
tersebut menggambarkan tentang peristiwa meledaknya bom di Atrium Senen dari
sudut pandang korban yang telah wafat. Lanjut dengan “Lailatul Qadar”, sebuah
cerpen yang mengkritisi kultur yang terjadi pada umat Islam negeri ini di kala
Ramadan. Kejutan dalam alur cerita cerpen yang tak terduga justru menjadi bumbu
tersendiri, terdapat dalam cerpen berjudul “Jejak Tanah”, yang dibuka dengan
adegan yang menyerupai cerita misteri, namun ternyata bercerita tentang konflik
agraria. Lalu hadir pula cerpen “Zamrud” yang mendokumentasikan peristiwa PHK
imbas dari peristiwa terorisme yang akhirnya menghambat investasi.
“Kacapiring”
menjadi salah satu cerpen favorit gue, karena endingnya tak terduga, di mana
sebuah peristiwa perselingkuhan terbongkar, sementara sedari awal cerita justru
berkutat pada hilangnya seorang istri secara gaib. Pada tiga cerpen berikutnya,
yakni “Nistagmus”, “Pohon yang Satu Itu”, dan “Lauk Dari Langit”, eyang Danarto
mengekspresikan perasaan sekaligus mendokumentasikan tragedi Tsunami Aceh pada
akhir 2004. Lain lagi dengan cerpen yang dijadikan judul buku kumpulan cerpen
ini, “”Ikan-Ikan Dari Laut Merah”. Cerpen tersebut coba menggambarkan suasana
religius pada era Kanjeng Nabi Muhammad SAW masih hidup. Religiusitas yang
terbangun setelah membaca cerpen “Ikan-Ikan Dari Laut Merah” dipatahkan oleh
“Telaga Angsa” dan “Si Denok” yang muncul setelahnya. Dua cerpen tersebut
justru mengkritisi kekakuan adat budaya timur yang dimiliki negara ini. “Telaga
Angsa” mengkritisi tentang sensualitas dalam tarian, sedang “Si Denok”
mempertanyakan ketelanjangan dalam karya seni, semisal lukisan atau patung.
Dalam “Pohon
Rambutan” eyang Danarto seakan berkata ke arah gue, “Siapa tahu, pohon rambutan
yang memberi manfaat bagi kita selama ini, merupakan salah satu saksi mata
perjuangan para pahlawan di masa lalu.”. Ya, mungkin saja memang ada yang
seperti itu. Serupa dengan itu, tapi kali ini bukan hanya rambutan, melainkan
tokoh utama cerpen berjudul “Alhamdulillah, Masih Ada Dangdut dan Mi Instan”
yang bernama Slamet. Sosok pria usia renta, korban penggusuran di satu sudut
ibu kota itu, tak disangka pernah menjadi sosok penyampai pesan Jenderal
Sudirman kepada Bung Karno di masa perang gerilya dulu.
Perjalanan wisata
religi yang mungkin pernah dijalani eyang Danarto berhasil didokumentasikan
dalam cerpen berjudul “O, Yerusalem”, yang menggambarkan suasana konflik
Palestina melawan Israel dari sudut pandang wisatawan. Suasana religius tampak
jelas dalam cerpen tersebut. Serupa dengan itu, “Pantura” pun membahas tentang
kesabaran bangsa kita dalam menghadapi bencana, tentunya mengacu pada
nilai-nilai agama yang selama ini lekat dengan rakyat kecil. “Pasar Malam” dan
“Pohon Zaqqum” adalah betul-betul dua cerpen fantasi yang absurd, hingga
memaksa gue menggali imajinasi lebih dalam. Secara garis besar “Pasar Malam” mengajarkan
kepada gue tentang bahaya dari kesimpulan konyol yang bisa diambil oleh
seseorang. Sementara “Pohon Zaqqum” mengangkat sekelumit kisah religius tentang
pohon penghuni neraka yang dikisahkan kitab suci. Sebagai penutup, cerpen
berjudul “Bengawan Solo” berkisah tentang KDRT terhadap seorang anak yang
dilakukan oleh ayah tirinya.
Sepakat dengan kata pengantar mas Edi AH Iyubenu yang terdapat dalam buku ini, kumpulan cerpen eyang Danarto
“Ikan-Ikan Dari Laut Merah” ini membersitkan nilai religiusitas yang khas
selaras dengan budaya kita. Eyang Danarto tak lupa mengkritisi akulturasi yang
terjadi dengan mengangkat nilai-nilai religi pada cerpen-cerpennya demi
mengingatkan para pembacanya agar jangan sampai melupakan hal penting tersebut
dalam kehidupan keseharian. Di samping itu, eyang Danarto menyajikan
dokumentasi terhadap peristiwa besar negeri ini, bahkan dunia, sesuai dengan
apa yang beliau pernah saksikan. Ada yang hobinya memotret, maka apa yang
pernah dilihatnya terdokumentasikan lewat foto-foto. Ada yang senang membuat
video untuk mendokumentasikan perjalanan hidupnya. Nah, eyang Danarto ini lebih
memilih mendokumentasikan semua kenangan hidupnya lewat cerita. Bisa dibilang,
cerpen-cerpen ini memuat sudut pandang, atau bisa jadi sikap, atau pendapat
pribadi eyang Danarto atas peristiwa-peristiwa yang terjadi dan menggugah hati
beliau. Layak dibaca menemani sore hari kita, bersanding dengan pisang goreng
dan segelas teh tawar, di mana keduanya musti disajikan selagi hangat. Sungguh
nikmat.
Kak, mau tanya bahasa novelnya udah dipahami?
ReplyDelete