My Opinion About The Book: "Wasripin Dan Satinah"

Judul: Wasripin Dan Satinah
Penulis: Kuntowijoyo
Penerbit: Kompas (PT Kompas Media Nusantara)
Tahun terbit: 2013, September (Cetakan Kedua)
Nilai (antara 1 sampai 9): 8,5
Cover:
Balik lagi di blog gue nih guys. Pada dasarnya setelah kemunculan beragam platform menulis di internet, blog ini semakin usang aja. Seringkali terlewat untuk menulis konten di laman pribadi ini. Tapi akhirnya gue bisa kembali mengisi blog ini dengan review buku lagi. Lagi-lagi review, lagi-lagi review, apakah blog ini hanya jadi semacam tempat resensi buku semata? Gue kira sih enggak. Gue bisa pastiin, bahwa kadang kala gue pun ingin menulis hal lain, tapi balik lagi, karena banyak platform jadi tulisan genre lain itu udah dituangin di tempat lain. Blog ini cuma kurang beruntung aja, ga kebagian buah pikiran gue. Hehe. Skip. Kali ini gue bakalan review sebuah novel karya om Kuntowijoyo. Beliau adalah sejarawan sekaligus sastrawan yang mampu menulis fiksi dan non-fiksi dengan sama baiknya. Salah satu sosok yang gue kagumi di dunia sastra Indonesia. Nah, kali ini gue bakalan bahas tentang novelnya yang berjudul “Wasripin dan Satinah”.

Novel ini bercerita tentang hidup Wasripin, seorang pemuda yang sebenarnya bukan siapa-siapa, namun seiring alur cerita menjadi siapa-siapa. Wasripin hanya lelaki miskin biasa yang menghabiskan masa kecilnya di ibu kota bersama ibu angkatnya. Setelah dewasa, demi mengubah nasib, Wasripin memutuskan untuk kembali menuju kampung halaman ibu kandungnya yang berada di pesisir pantura. Sebetulnya Wasripin tak mengetahui secara pasti letak kampung halaman yang ditujunya itu, hingga nalurinya mengantarkan pemuda itu pada sebuah desa nelayan di pantura. Di sana nasib baik mendatangi Wasripin setelah ia mengalami tidur panjang selama beberapa hari. Pengalaman uniknya itu membuatnya dianggap sebagai pembawa keberuntungan bagi desa nelayan. Wasripin perlahan menjadi kesayangan warga desa. Seorang tokoh sekaligus imam surau di desa nelayan bernama Pak Modin menjadi penasihat Wasripin, dan menganggap pemuda dari ibu kota itu layaknya anak sendiri.

Suatu hari, Satinah muncul dalam hidup Wasripin. Mereka pun saling jatuh cinta. Akan tetapi, seperti kisah roman pada umumnya, terdapat rintangan-rintangan tak terduga dalam kisah kasih Wasripin dan Satinah. Belum lagi kisah Paman Satinah yang di satu sisi menyebalkan, namun di sisi lain berhasil mengundang iba. Di tambah bumbu kegeraman yang muncul kala pemerintah menuding yang bukan-bukan baik kepada Wasripin, maupun kepada Pak Modin, sehingga membuat keduanya berurusan berkali-kali, baik dengan militer, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lurah, camat, bupati, bahkan hingga berurusan dengan partai penguasa yang tengah sibuk mempersiapkan strategi kampanye pemilu yang akan berlangsung. Lantas, bagaimana nasib Wasripin? Baca sendiri aja, bro. Hehehe.

Meski terbit pertama kali sekitar 2003, novel ini dibuat dengan latar era orde baru. Wajar aja sih, mana mungkin juga novel berlatar orba, yang isinya berisi banyak satir yang menyindir orde militer tersebut, bisa dengan mudah terbit kala orde baru sedang jaya-jayanya. Penerbit baru berani merilis naskah novel ini lima tahun setelah orde baru tumbang. Isi novel ini menambah pengetahuan gue tentang sikap aparatur negara pada masa orba, terutama intrik politik dan hukum yang terjadi di pelosok, yang jauh dari pengamatan media massa, juga pengawasan pemerintah pusat. Tuduhan-tuduhan subversif bisa mengancam siapa saja, kapan saja, di mana saja, terhadap sosok yang dianggap mengancam kestabilan kekuasaan, atau setidaknya mengancam si pemangku kekuasaan tingkat rendah itu sendiri. Kebodohan rakyat karena kurangnya pendidikan, sehingga mudah menarik prasangka dan percaya terhadap mitos, juga kebodohan penguasa (meski mereka cukup berpendidikan) dalam mengantisipasi gejolak yang timbul di masyarakat pun digambarkan dengan berani oleh om Kuntowijoyo. Membuat gue paham bagaimana suasana era orba yang menyeramkan itu. Buat yang ingin menambah pengetahuan tentang bagaimana suasana masyarakat di era orde baru, tapi bukan melalui biografi tokoh, silakan membaca novel ini. Recommended abis.

Jujur aja gue baru tahu ada cara menulis cerita fiksi seperti yang dilakukan om Kuntowijoyo ini. susah juga gue jelasinnya. Pokoknya, dengan cara yang unik, beliau menuliskan kalimat setengah jadi di beberapa titik, mencampurkan percakapan dan suara hati tokoh rekaannya, guna memaksa kita untuk terus membaca agar memahami suasana keseluruhan alur cerita. Namun, teknik ini berbahaya jika dibaca oleh pembaca yang gemar memberi jeda dalam membaca. Biasanya nih ya, para penggemar roman-roman cinta mendayu-dayu yang kayak gitu, yang sering berhenti membaca di beberapa titik demi menikmati suasana romantis yang dibangun dalam cerita, atau mengagumi kalimat rayuan gombal atau kutipan-kutipan mahal yang baru saja dibacanya. Cara membaca seperti itu akan amat sangat melelahkan dan bisa membuat sang pembaca kehilangan imajinasinya dalam memahami novel ini secara utuh. Bisa jadi si pembaca akan berhenti membaca novel ini setelah beberapa lembar halaman karena terengah-engah mengikuti alur yang ngebut tanpa jeda yang diciptakan oleh penulis. Akan tetapi, secara keseluruhan, novel ini masih tetap menarik untuk dinikmati. See you later, guys!

Comments

  1. Baca review ini jadi pengen cepet-cepet baca bukunya, dari dulu belum kesampaian 😅

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semoga bisa segera baca kakak, bukunya bagus lho :)

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

My Opinion About The Book: "Mata Malam"

My Opinion About The Book: "The Blackside: Konspirasi Dua Sisi"

My Opinion About The Book: "Gadis Pemberontak"