My Opinion About The Book: "Kambing Dan Hujan"



Judul: Kambing Dan Hujan
Penulis: Mahfud Ikhwan
Penerbit: Bentang (PT Bentang Pustaka)
Tahun terbit: 2016, Maret (Cetakan Kedua)
Nilai (antara 1 sampai 9): 8,5
Cover:

Selamat siang para pemirsa blog gue yang usang ini. Apa kabar semua? Semoga semua baik-baik saja dan dalam keadaan sehat sentosa. Balik lagi di sini setelah sekian lama kita berpisah. Berhubung banyak hal yang mesti gue selesaikan, akibatnya tak cukup waktu buat gue mengisi blog ini. Yah, finally... sekarang gue ada waktu. Alhamdulillah. By the way busway anyway, saat ini gue lagi dan lagi bakalan menulis tentang review buku yang pernah gue baca. Kali ini, sebuah novel karya Mahfud Ikhwan berjudul “Kambing dan Hujan”. Pertama kali gue tau tentang novel ini adalah lewat Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2014 lalu. Novel ini menjadi Pemenang pertama dalam ajang tersebut. Well, predikat itulah yang akhirnya membuat gue tertarik. Dalam selang waktu yang kurang lebih nyaris dua tahun kemudian, barulah gue berhasil mendapatkan novel ini melalui salah satu lapak jualan buku onlen langganan. Setelah novel ini dipinjam beberapa kali, akhirnya gue bisa mereviewnya dengan tenang.

Novel ini berkisah tentang roman antara Miftah dan Fauzia, dua sejoli berasal dari desa bernama Centong di salah satu sudut pulau Jawa bagian timur. Keduanya adalah anak dari dua tokoh agama paling terpandang di seantero desa. Namun sayang, kedua orang tua mereka berada pada jalan dakwah yang berbeda. Mif anak dari seorang tokoh pembaharu bernama Pak Iskandar. Sementara Fauzia merupakan anak kesayangan Pak Fauzan, seorang ulama lulusan pesantren yang memilih berdakwah di jalur tradisional. Perbedaan itulah yang akhirnya membuat kisah Miftah dan Fauzia bagaikan kisah Romeo dan Juliet versi lokal. Dalam usaha menyatukan perbedaan dari dua keluarga tokoh masyarakan tersebut, sepasang anak muda yang tengah dilanda asmara itu kemudian mengetahui bahwa ada hal yang telah disembunyikan oleh kedua ayah mereka. Iskandar dan Fauzan ternyata bersahabat di masa lalu, dan keduanya saling menganggap saudara satu sama lain. Hal apakah yang akhirnya merusak persahabatan Iskandar dan Fauzan itu? Bagaimana akhir dari kisah cinta Miftah dan Fauzia? Silakan dibaca sendiri novelnya, guys.

Munculnya novel “Kambing dan Hujan” menawarkan tema lokalitas yang kuat dan berbeda di tengah menjamurnya novel-novel bertema religi yang lebih gemar mengangkat tema-tema kisah cinta antar negara-antar benua, mengangkat budaya timur tengah, atau kehidupan sosok muslim di Eropa dan Amerika, yang beberapa di antaranya diangkat ke layar lebar. Maka dari itu, amat wajar bila pada saat awal kemunculannya, novel ini dapat menarik perhatian karena dirasa mengangkat tema yang segar, hingga akhirnya bisa memenangkan sayembara DKJ. Nah, yang unik adalah soal tema religi itu sendiri. Meskipun mengangkat relasi antara dua organisasi islam terbesar di Indonesia, novel karya mas Mahfud ini, menurut gue sih enggak masuk ke dalam genre novel religi—walau mungkin ada beberapa pihak yang memasukan novel ini dalam genre tersebut. Justru mas Mahfud lebih mengangkat kultur jawa-timuran, tentang apa saja gegar budaya yang terjadi di desa-desa kecil di Jawa Timur sana, sesuai dengan pengalaman pribadi sang penulis. Selain, tentu saja, mengkritisi perdebatan-perdebatan kecil mengenai ritual keagamaan yang terjadi antara kaum tradisional dan kaum moderat.

Menurut gue, mas Mahfud berhasil mengkritik pertikaian kaum tradisional dan moderat dalam novel ini, tanpa bermaksud menyalahkan dan menggurui. Pada intinya, novel ini mengingatkan bahwa perdebatan kecil yang tak perlu seharusnya dihindari, dan menghimbau untuk lebih saling menghargai perbedaan yang ada tanpa perlu menilai diri sendirilah yang lebih baik (Bah! Macam mata pelajaran PMP zaman orba aja bahasa gue ini!). Hal ini tentu penting di era saling hujat dan menjatuhkan seperti yang terjadi saat ini—terutama di dunia maya. Jangan anggap enteng, tapi tak usah dianggap serius juga, ini cuma pendapat gue doang lho. Gue pribadi amat bersyukur atas hadirnya novel yang lebih menyoroti kehidupan lokal pedesaan yang kental di era keterbukaan informasi seperti sekarang ini, karena dengan membaca novel dengan narasi seperti itulah budaya bangsa kita terdokumentasi dengan apik. Walau dalam rasa pesimis yang tinggi, gue pribadi masih berharap di masa depan kelak, gue hidup sebagai manusia tradisional yang berinteraksi lewat tatap muka secara langsung dan mengedepankan etika dalam berkomunikasi, tak seperti saat ini dimana semua sibuk menatap gawai masing-masing.

Jujur saja, beberapa bagian di novel ini mengingatkan apa yang juga terjadi di masa kecil gue. Perdebatan tentang ushalli, do’a qunut, tahlilan, niat puasa, membaca surat Yasin di malam jum’at, dan beberapa ritual lain, kerap kali gue alami saat gue belajar shalat dan mengaji sewaktu kecil. Bapak yang condong mengikuti saran dan ritual agama kaum pembaharu, bertolak belakang dengan ibu yang mengikuti ritual agama tradisional, terkadang membuat gue bingung saat itu. Beruntung ustadz di sekolah dan masjid kampung menjadi referensi lain buat gue, dan berhasil memangkas kebingungan yang gue alami. Akhirnya, gue tumbuh dengan pola pikir pembaharu, tapi tetap mempertahankan ritual secara tradisional—meskipun gue akui, kalau sholat shubuh jarang pakai qunut. Hehe. Akhir kata, gue sih mendorong generasi milenial untuk membaca novel ini, menangkap apa yang terjadi di era baheula, dan mengambil hikmah darinya. Selamat siang.

Comments

Popular posts from this blog

My Opinion About The Book: "Mata Malam"

My Opinion About The Book: "The Blackside: Konspirasi Dua Sisi"

My Opinion About The Book: "Gadis Pemberontak"