MASALAH YANG BELUM TERPECAHKAN


Jika Anda membaca cerita ini, mohon bacalah sampai habis. Seseorang tengah membutuhkan bantuan Anda. Satu kebaikan yang mungkin tak seberapa nilainya bagi Anda, tapi hal itu amat berarti bagi orang tersebut. Tanpa membuang waktu, aku akan langsung menuju ke pokok persoalan. Salah seorang kawanku, sebut saja: Dono, bukan nama sebenarnya, sedang mendapatkan kesulitan yang tak bisa kupecahkan sendiri. Beruntung, aku memiliki ide cemerlang untuk membagikan kegelisahan Dono kepada khalayak umum. Berharap akan ada orang yang dapat menyelesaikan masalah, yang menurutnya teramat penting itu.

Dono adalah pemuda harapan bangsa yang saat kelahirannya dido’akan oleh keluarga besarnya dalam sebuah pengajian syukuran. Acara yang turut mengundang tetangga, kiyai dan santri pesantren yang mayoritas anak yatim piatu, agar kelak bisa menjadi sosok yang berguna bagi keluarga, agama, nusa dan bangsa. Berkat do’a yang mustajab, Dono tumbuh menjadi anak baik dan tak banyak ulah. Di sekolah, dia menjadi sosok teladan. Mudah bergaul, dan pandai dalam pelajaran.

Aku mengenalnya di masa itu. Kami teman sekelas, sejak SD. Seringkali dia membantuku mengerjakan PR. Sayangnya, kami berdua keras pendirian. Pemikiran kritis tak jarang membuat kami bersitegang. Banyak kenangan perkelahian kecil antara aku dengannya yang masih kuingat. Aku menjadikan Dono sebagai target dalam perolehan nilai di kelas. Bila Dono mendapat nilai delapan, maka aku harus sembilan. Bila Dono rajin salat wajib lima waktu, aku harus menambah yang lima waktu itu dengan salat sunnah. Bila Dono bersedekah, maka aku tak mau kalah untuk bersedekah. Singkat kata, aku selalu tak mau kalah darinya.

Dono adalah pelajar teladan yang baik akal dan baik pula budinya. Salah satu kawan yang kuanggap layak mendapat gelar manusia paling tabah di seantero dunia, bila saja ada penghargaan semacam itu. Ingatanku bisa saja luput soal ini, tapi di hadapanku, Dono adalah pemuda baik hati dan paling tenggang rasa yang aku kenal. Keluarganya mendapat musibah saat kami masuk SMP. Ayah kandungnya pergi merantau. Tak disangka, beliau menikah lagi di ibu kota dengan seorang wanita muda yang lebih cantik dari ibu kandungnya. Pada masa itu, Dono berubah menjadi seorang pemurung.

Sebelum aku lanjutkan kisah ini, mungkin beberapa dari Anda bertanya, mengapa aku perlu menceritakan masa lalu kami, dan tak langsung menuju pada pokok permasalahan? Dua hal harus kujelaskan. Pertama, aku ingin menggambarkan pola pikir dan sudut pandang Dono terhadap kehidupan, berdasarkan pengalaman hidup yang dia alami. Kedua, sejak remaja, hanya aku, kawan baik yang dipilih Dono sebagai teman berbagi keluh kesah segala permasalahannya. Lucunya, tiap dia bercerita, aku hanya mampu memintanya untuk bersabar. Penuturanku ini kuanggap sebagai bantuan terbaik yang dapat kulakukan demi dia. Semoga Anda mengerti.

Masa remaja Dono, tak hanya dilalui dengan mencari jati diri, dia pun menjadi anak tiri. Sebagai anak lelaki satu-satunya di keluarga, Sang ayah memintanya tinggal bersama di ibu kota. Ibunya yang takut kepada watak keras sang suami, meminta Dono mengikuti permintaan itu. Dono sebenarnya enggan meninggalkan ibu dan kakak perempuannya. Namun, dia tak ingin ibunya mendapat perlakuan kasar dari sang ayah.

“Enak, dong. Bisa hidup di kota?” Ucapku.

“Tapi ibu dan teteh, mereka tak ada yang membantu,” keluh Dono.

“Tenang saja. Ada aku dan kawan-kawan lain di sini. Kau berangkatlah ke Jakarta. Tapi, jangan lupa pulang sesekali. Ceritakanlah kepadaku tentang keadaan kota yang tampak megah di sinetron-sinetron itu. Juga lebih kejam mana, ibu kota... atau ibu tiri?!”

“Ada-ada saja, kamu! Kalau bukan permintaan ibu, tak aku turuti kemauan ayahku itu. Lagi pula, dia tak membiayai kami selama tiga tahun terakhir.”

“Sabar. Mungkin saja beliau sadar akan hal itu, dan kini coba menebus segalanya. Kau turuti saja kemauannya, toh beliau itu ayah kandungmu sendiri.”

“Kalau dia sadar, seharusnya tinggalkan saja gadis ibu kota itu, lantas pulang kemari. Kembali hidup bersama ibu, teteh, dan aku. Ck! Tapi, ya... kau memang benar, Sul. Bagaimanapun, beliau itu masih ayah kandungku.”

Setahun Dono di ibu kota, nilai pelajarannya menurun. Bukan karena kemampuan otaknya kalah dari orang kota, melainkan demi alasan kepada ayahnya agar bisa pindah kembali bersama sang ibu. Dono membiarkan ayahnya mendapat kesimpulan bahwa anak lelaki kebanggaannya itu tak dapat bersaing dengan anak SMA unggulan ibu kota. Akhirnya sang ayah mengalah dan mengembalikan Dono ke kampung halaman. Kami kembali satu sekolah. Predikat siswa teladan kembali lekat kepada Dono.

Dono mulai membaca koran di perpustakaan sembari mengomentari apa yang tengah terjadi kepada negeri ini. Terutama saat Presiden menaikan harga bahan bakar, hingga mengakibatkan naiknya harga bahan pangan. Dengan tegas dia mengkritik pemerintah yang tak berpihak pada rakyat kecil. Aku pun tak mau kalah dan berusaha mengimbangi kemampuan baru karibku itu. Kami mulai berbicara politik, kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Wah, kalian mau jadi anggota DPR? Atau menteri?” gurau Pak Dodi, guru Bahasa Indonesia kami, saat tak sengaja mendengar kami di teras kelas. “Tak masalah jadi apa pun juga. Selama itu baik. Halal. Namun, kalian jangan lupa untuk melanjutkan kuliah. Jadi politisi itu tak hanya membutuhkan keahlian dalam berdebat saja, melainkan ada ilmunya juga. Semua bisa didapat di universitas,” jelas Pak Dodi.

Kami memutuskan untuk masuk jurusan ilmu politik saat kuliah nanti. Pada akhirnya Dono berhasil, sementara aku gagal dan masuk fakultas hukum. Beruntung, kami masih berada di kampus yang sama. Aku dan Dono semakin sering berdebat, berdasarkan keilmuan yang kami terima. Dono semakin kritis dengan apa yang terjadi pada negara ini. Dia kecewa melihat para politisi yang terlalu mementingkan golongan, tanpa memperhatikan rakyat secara umum. Aku pun merasakan kegelisahan yang sama. Kemudian kami memutuskan aktif dalam organisasi mahasiswa. Seakan bersaing, kami lahap buku-buku tebal tak masuk akal tentang ideologi dan sejarah politik global, lantas membahasnya hingga tak kenal waktu. Pernah sekali waktu kami berdiskusi mulai dari matahari tenggelam hingga kembali terbit, dan tak selesai di situ, kami melanjutkan hal itu hingga matahari kembali terbenam.

Kelebihan Dono yang tak bisa kutandingi adalah kemampuan handalnya menuangkan pikiran ke dalam tulisan esai kritis. Dia mampu memberikan analisa mendalam terkait berbagai permasalahan politik, sosial, ekonomi, maupun hukum, dengan sama baiknya. Sementara, aku lebih mudah menulis cerpen atau puisi. Mungkin karena karakterku yang perasa. Kami berdua rutin mengirim tulisan ke media massa. Tak sedikit uang jajan yang kami dapat karenanya. Hingga akhirnya kami dinyatakan lulus, setelah lima setengah tahun bergelut dalam kehidupan mahasiswa. Dono melanjutkan pendidikan S2 setelah mendapatkan tawaran beasiswa. Dia ingin mendalami pendidikan politik, agar bisa berguna sesuai dengan do’a syukuran kelahiran dulu. Aku sendiri memilih mengikuti tes penerimaan pegawai negara sesuai permintaan ibuku. Alhamdulillah, aku diterima.

Akhir tahun lalu, Pemerintah mewajibkan tiap warga negara pemilik ponsel untuk mendaftarkan ulang nomor ponsel, dengan menyertakan nomor Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga. Sebagai warga negara yang baik, tentu aku dan Dono mau saja mengikuti hal itu, meski kami pernah mempertanyakan maksud dari adanya peraturan semacam itu. Sifat kritis kami tak berubah, meski aku pribadi merupakan bagian dari pemerintah yang jelas-jelas membuat aturan “konyol” itu. Dono mempertanyakan privasinya sebagai warga negara. Dia menyadari, menyerahkan nomor KTP dan KK begitu saja kepada pihak operator, membuat mereka mudah mengakses data pribadi warga negara, dan mungkin pula menyalahgunakan hal itu di kemudian hari.

Membuka data pribadi kepada pemerintah melalui operator selular, di satu sisi, baik untuk mencegah manusia tanpa tanggung jawab yang bisa saja menyalahgunakan ponsel untuk melawan negara. Di sisi lain, hal ini pula berarti membuka jalan kepada mereka untuk mengintip data pribadi seseorang. Melacak siapa orang tua pemilik ponsel, lantas menghubungkannya pada afiliasi politik keluarga tersebut. Pemerintah mudah menandai si A yang memilih partai X karena orang tua atau kerabatnya adalah anggota atau pendukung fanatik partai tersebut. Peta politik nasional tergambar dengan mudah, dan partai penguasa bisa memenangkan pemilu dengan strategi yang sesuai, berdasarkan informasi data pribadi warga negara tersebut. Belum lagi bila terdapat anggota keluarga di masa lalu yang terlibat tindak kriminal, makar, teroris, DI/TII, atau komunis. Apakah pemilik nomor ponsel akan dicurigai begitu saja?

Pada akhirnya datanglah permasalahan menimpa Dono. Masalah yang kubahas di awal. Satu masalah yang belum memiliki solusi. Ayahnya memiliki dua KK yang sama-sama sah di mata negara, dengan dua istri yang berbeda. Nama Dono tercantum di kedua KK tersebut, karena sempat tinggal bersama ayahnya dan terdaftar di kantor catatan sipil tempat tinggal sang ayah. Tanpa disengaja, Dono memiliki dua Nomor Induk Kependudukan (NIK) berbeda. Sebagai warga negara yang baik, tentu saja dia tak ingin melanggar hukum. Mengetahui statusku yang alumni mahsiswa hukum, Dono meminta saran kepadaku. Dia menganggap aku bisa membantu memecahkan masalah itu.

Aku, dan mungkin Anda sekalian, mengetahui aturan yang melarang seorang warga negara memiliki NIK ganda. Pasal 97 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan menyatakan ada sanksi pidana bagi penduduk pemilik NIK rangkap. Akan tetapi, Dono melakukan hal tersebut tanpa sengaja. Dia mempertanyakan bagaimana jika kelak dirinya dianggap telah memalsukan identitas. “Apakah itu tindak kriminal?” tanya Dono kepadaku.

“Mulai dari hari ini, kau jangan pernah sesekali berpikir untuk kawin lagi. Kasihan anak-anakmu. Jangan sampai mereka menghadapi kesulitan yang sama,” jawabku tanpa menjawab pertanyaannya.

Dono tak mau dianggap kriminal. Sekali lagi kuingatkan, mungkin ini hanya hal sepele bagi Anda, tetapi tidak bagi Dono. Dia benar-benar khawatir tentang hal itu. Apalagi, dalam era telekomunikasi seperti sekarang, ponsel pintar sudah menjadi kebutuhan primer. Dono khawatir, bila dia tak bisa memanfaatkan teknologi komunikasi hanya gara-gara identitas rangkap yang dimilikinya. Singkat kata, bagi siapa pun Anda yang memiliki jawaban terkait dengan kegelisahan Dono, silakan mengunggah jawaban ke dalam benak Anda masing-masing. Akan kutangkap jawaban itu dengan kemampuan telepati yang kumiliki. Semoga masalah Dono cepat selesai.

Terima kasih. Hormatku, Sulastri.[]

Comments

Popular posts from this blog

My Opinion About The Book: "Mata Malam"

My Opinion About The Book: "The Blackside: Konspirasi Dua Sisi"

My Opinion About The Book: "Gadis Pemberontak"