My Opinion About The Book: "1984"


Judul: 1984
Terjemahan dari: ‘Nineteen Eighty-Four’, 1949
Penulis: George Orwell
Penerbit: Bentang (PT Bentang Pustaka)
Penerjemah: Landung Simatupang
Tahun terbit: 2017, Januari (Cetakan Ketiga)
Nilai (antara 1 sampai 9): 8,2
Cover:

Selamat siang, para pembaca blog yang luar biasa. Apa kabar? Gw harap kalian semua baik-baik saja. Alhamdulillah, gw juga sehat sehingga akhirnya bisa berkesempatan menulis di blog lagi siang ini. Hari ini, gw bakalan review novel karya terakhir George Orwell sebelum beliau wafat, berjudul: “1984”. Novel ini gw pinjem dari seorang kawan. Sosok yang sama yang juga telah meminjamkan beberapa buku kepada gw sebelumnya. Bersyukur gw memiliki kawan seperti itu, disaat gw sendiri belum sempat buat beli buku baru karena uang pribadi yang selalu habis dipakai untuk menyelesaikan beberapa hal penting lain yang jadi prioritas gw. Tapi, suatu saat gw harus kembali beli buku, sih, biar makin pinter. Hehehe.

Novel ini berlatar tahun yang sama sesuai dengan judulnya. Anggap saja sekitar tahun itu, karena tokoh pada novel pun kurang meyakini tengah berada di tahun berapa. Tokoh utama dalam novel ini adalah seorang kader partai bernama Winston Smith, hidup di kota London di bawah kekuasaan sosialis totalitarian negeri Oseania. Sebagai seorang kader, Winston harus menuruti setiap perintah partai tunggal penguasa negara, dan itu membuatnya jengah. Oseania, negeri yang ditempatinya kali ini hanya mengagungkan partai dan peperangan. Winston merindukan London yang dulu saat dirinya kecil, London yang menghargai kebebasan dan perdamaian. Dirinya pun merasa harus melakukan perlawanan terhadap kemapanan aturan negara yang ada.

Winston merasa ragu memulai perlawanan, karena mengacu pada yang diketahuinya, setiap perlawanan berarti sosoknya telah mati sebelum kematian itu datang. Negara akan menghapuskan eksistensi seorang pengkhianat dari sejarah dunia. Ia tak pernah dianggap ada. Keraguan itu perlahan luntur semenjak sang lelaki bertemu dengan Julia, gadis muda yang membuatnya jatuh cinta. Demi cinta dan kebebasan, Winston semakin yakin melakukan perlawanan. Mulailah dirinya mencari tahu bagaimana cara bergabung dengan kaum pemberontak yang selama ini menjadi musuh negara. Langkah Winston untuk melakukan pemberontakan seakan-akan dimudahkan, hingga kemudian sesuatu yang tak disangkanya terjadi. Apakah itu? Monggo dibaca sendiri novelnya.

Entah angin apa yang membuat seorang George Orwell mampu menuliskan sebuah karya fiksi bagus seperti “1984”. Sebuah imajinasi, atau mungkin lebih tepat dibilang visi, tentang masa depan London, ibu kota negara asal sang penulis, apabila jatuh ke tangan kaum sosialis totaliter pasca perang dunia. Untungnya (atau mungkin tidak, tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya), apa yang beliau takutkan tak menjadi kenyataan. Inggris tetap bertahan dengan bentuk yang sama, bahkan hingga hari ini. Akan tetapi, seperti apa yang ditulis dalam pengantar novel ini, sebelum tahun 1984 datang, novel ini dianggap sebagai ramalan yang memunculkan perdebatan di Inggris sonoh. Tak banyak lho, novel yang bisa menjadi bahan perbincangan seperti itu.

Seperti dalam “Animal Farm”, “1984” juga tampak menyudutkan ideologi sosialisme-komunisme yang memang tengah merebak di awal hingga pertengahan abad ke-20. George Orwell sebetulnya tak berpandangan skeptis hanya kepada sosialisme atau ideologi kekiri-kirian lain yang sejenis saja. Justru beliau sebenarnya mengkritik semua ideologi, bentuk kekuasaan mapan dengan landasan ideologi apa pun itu. Menurut beliau, tiap ideologi yang menjadi landasan untuk berkuasa adalah semata-mata alasan demi merebut kekuasaan itu sendiri. Perjuangan ideologi tak ada kaitannya dengan memperjuangkan kesetaraan, kesejahteraan, atau kebebasan. Semua murni hanya demi merebut kekuasaan.

Mau ganti ideologi berkali-kali, sebanyak apa pun juga, rakyat mayoritas tetap berada di kasta terbawah negara, tak beranjak kemana-mana. Sayangnya, para penguasa atau kaum yang mencoba merebut kekuasaan dengan ideologinya masing-masing itu, tak berani berkata juiur terhadap rakyatnya, jikalau mereka hanya berniat untuk menikmati kekausaan semata. Hal yang lumrah, karena mereka membutuhkan dukungan mayoritas. Sementara sang mayoritas tetap dibodohi agar tak bisa menentukan nasibnya sendiri, sehingga bergantung kepada negara. Mungkin seperti itu pesan yang bisa gw tangkep dari novel ini. Setiap pembaca punya penafsirannya masing-masing. Buku ini wajib baca buat siapa saja yang tertarik dengan politik.

Comments

  1. Best Baccarat Strategies to Try - FEBCasino.com
    Try baccarat for 메리트 카지노 free or real money. With Baccarat, the number one betting 온카지노 technique. 바카라 For the beginner, it is a simple strategy for beginner players to make

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

My Opinion About The Book: "Mata Malam"

My Opinion About The Book: "The Blackside: Konspirasi Dua Sisi"

My Opinion About The Book: "Gadis Pemberontak"