Tentang Film India yang Diangkat dari Novel Populer yang Gue Suka dan Belum Sempat Gue Bikin Review Novelnya di Blog Ini
Jika gw ditanya lebih bagus mana,
novel dan adaptasinya? Tentu gw akan menjawab novel (berdasarkan pengalaman
pribadi, tak bisa digeneralisir). Tulisan fiksi, seperti novel, sengaja ditulis
dengan lebih detail dan lebih berani, demi menggali imajinasi para pembacanya.
Sedangkan film terkesan lebih menahan diri, demi menjaga etika dalam dunia
penyiaran. Kalo menurut gw, sensor itu berguna lho, demi menjaga pandangan anak
cucu yang masih pada cimit-cimit itu. Itu menurut gw yah, bukan kata
siapa-siapa. Meski gw yakin di luar sana banyak orang tua yang otomatis
menganggukan kepala saat membaca kalimat gw barusan.
Demikianlah bila sebuah novel diadaptasi
ke dalam film. Selalu ada kekecewaan terhadap hasil akhirnya. Entah tentang
karakter tokoh yang melenceng dari ekspektasi imajinasi pembaca novel, atau
bisa saja terkait latar tempat dan waktu yang penggarapannya kurang maksimal.
Gw sendiri memaklumi hal itu, karena ada nilai yang berbeda antara seni menulis
novel dengan dunia seni peran. Interpretasi sutradara yang berbeda dari sang
novelis terhadap jalan cerita, hingga tentu saja, anggaran pembuatan film yang
terbatas. Ada juga penghilangan adegan novel demi menjaga norma dan etika di masyarakat,
yang apabila dilanggar ditakutkan akan menjadi kontroversi.
Salah satu contoh hadir dalam
film India berjudul “2 States”, yang diangkat dari novel pop karya Chetan
Bhagat yang berjudul sama. Pertentangan antara budaya Punjabi dan Tamil dalam
novel, gw rasa lebih eksplisit, terbuka, dan mungkin akan memicu pertikaian
antara dua budaya itu di dunia nyata, bila diangkat plek 100% ke dalam film.
Entahlah, itu cuma dugaan gw aja. Gw kan enggak tahu karakter orang-orang India
sana, apakah mudah tersulut seperti orang sini atau enggak. Tetapi, di luar
kekurangan ada pula kelebihan film. Karya sinematik seperti film bisa
memvisualkan romantisme yang khas, yang tak bisa digambarkan dalam novel.
Sungguh itu, sungguh.
Ekspresi, polah tingkah gerak
para tokoh tentu saja lebih jelas digambarkan oleh adegan dalam film. Tambahan beberapa
tembang dan joget (khas India dan juga pilem-pilem bang haji Rhoma) membuat
suasana film lebih meriah. Warna-warni budaya, latar, hingga kostum, menambah
keindahan film sekaligus memanjakan mata, dibanding imajinasi pembaca novel
yang bisa saja datar, kering tanpa warna. Meski demikian, dalam kasus “2 States”
ini, gw cenderung lebih memilih novelnya daripada film, di mana gw bisa
membayangkan Krish dan Ananya yang lebih rupawan dan rupawati versi gw sendiri.
Serupa dengan apa yang terjadi pada Dilan tempo hari.
Film membatasi imajinasi, secara
garis besar memang benar. Namun, yang terjadi pada “2 States” lebih
mengecewakan lagi, di mana perjuangan Ananya dan Krish menempuh pendidikan dan
mendapatkan kerja, juga perjuangan Krish memikat hati ayah dan ibu Ananya
dengan tugas presentasi dan konser menyanyi, tak tergambar detail dalam film. Mungkin
dikarenakan penggambaran hal-hal tersebut dianggap kurang menjual, dan menambah
durasi film hingga bisa membuat penonton lelah menyimaknya. Padahal, jika
alasannya adalah popularitas, pihak produser film bisa saja bekerja sama dengan
Citibank dan Lifebuoy, yang sejalan dengan kisah dalam novelnya, demi memikat
penonton dengan cara promosi seperti apa pun. Akan tetapi, ternyata hal itu tak
terjadi.
Secara garis besar, “2 States”
berkisah tentang romansa Krish dan Ananya yang lahir dalam dua kebudayaan yang kontras
satu dengan yang lain. Punjabi India Utara dan Tamil Nadu di Selatan. Dalam
perjalanan kisah cinta mereka, keduanya berniat mempersatukan dua budaya yang
sangat kuat tersebut. Konflik muncul karena dua kebudayaan tersebut dianggap
tak bisa dipersatukan. Saking beda bangetnya. Tema semacam ini sebetulnya umum,
sih. Namun, dua budaya kuat di India, yang menjadi latar kisah ini membuat film
menjadi unik dan memiliki kekhasan tersendiri. Menunjukkan kebanggaan warga
negeri Hindustan sana akan kekayaan budaya lokal mereka. Sesuatu yang membuat
gw tertarik akan kisah ini.
Sebenarnya tema kisah cinta
dengan konflik perbedaan budaya atau keluarga seperti “2 States” ini bisa
ditempelkan ke dalam kultur mana saja. Bisa saja tema klise seperti ini
diangkat ke dalam kisah cerita versi Indonesia, mengingat beragamnya suku
bangsa negeri kita, dan jika digali lebih dalam, pasti ada kisah-kisah serupa
ini. Atau jangan-jangan, memang sudah ada yang coba angkat ke dalam versi
lokal, tetapi digarap secara murahan oleh rumah produksi FTV yang menor itu?! Embuh.
Yang jelas, “2 States”, terutama versi novel, telah membuat gw tertarik dengan
karya-karya fiksi pop penulis India lainnya. Fin~
Comments
Post a Comment