Perbincangan dengan Buku-Buku*


Baru saja kubuka pintu masuk ruang baca utama perpustakaan, mereka langsung saling berebut berteriak kepadaku. Menuturkan banyak cerita yang sulit untuk kutampung semua. Otakku—meski itu ciptaan Tuhan, tentu memiliki batas. Usianya hanya sepanjang jasadku bernapas. Tetapi, bukan itu yang aku maksud. Kali ini, maksudku adalah tentang pikiranku yang memiliki batasan tak terlihat. Ada saat di mana aku tak dapat lagi berpikir jernih jika terus-menerus memikirkan sesuatu, dan itu membuat kepalaku sakit. Kusebut itu sebagai batas kemampuan otakku.

Meski otakku cukup besar—volume otak lelaki dewasa sebesar 1.300 – 1.500 cm3 menurut para ahli, namun pengetahuanku sendiri masih amat kecil. Pengetahuanku belum seluas pengetahuan para filsuf—yang bila kau beri pertanyaan apa saja, dia bisa menjawabnya dengan bijak. Entah berapa banyak buku yang mereka lahap? Ataukah kebijaksanaan itu muncul dari usia dan pengalaman yang mereka alami dalam perjalanan hidup mereka? Jangan-jangan mereka tak pernah baca buku sama sekali? Ah, alangkah bodohnya aku kalau begitu-yang terlalu percaya dengan pepatah lama bahwa buku adakah jendela dunia, sementara para filsuf menjadi sosok yang bisa mengetahui apa saja tanpa membaca.

Mungkin tak seperti itu pula. Entahlah. Takdir memaksaku akrab dengan buku. Tentu saja awalnya aku terpaksa—aku seperti kebanyakan pemuda masa kini yang enggan membaca buku. Akan tetapi, mereka akan terus berteriak menggangguku, mencari perhatianku, bila aku tak mendengarkan mereka. Ya, kau tak salah membaca. Aku tak pernah membaca buku-buku, tetapi mereka sendiri yang menuturkan isi perut mereka kepadaku—merekalah yang menyebut isi buku mereka dengan sebutan ‘isi perut’. Buku-buku memiliki keluhan yang ingin didengarkan manusia, dan kebetulan hanya aku yang bisa mendengar keluhan mereka.

Apa kau ingin tahu buku terburuk dari semua buku-buku yang ada di perpustakaan? Yap, tepat sekali dugaanmu. Buku-buku perpustakaan yang usang dan tak pernah disentuh sama sekali oleh manusia dalam jangka waktu yang entah sudah berapa lama. Buku-buku tua. Merekalah yang berteriak paling lantang hingga terkadang memekakkan telinga. Lebih rewel dari buku-buku lainnya. Namun, terkadang buku-buku tua itu berisi petuah paling bijak dan informasi paling penting tentang kehidupan.

Aku adalah sosok yang peduli, maka dari itu aku pun rutin meluangkan waktu untuk datang ke perpustakaan demi menyantap isi perut buku-buku, sekaligus mendengarkan keluh kesah mereka tentang kehidupan sebagai buku di perpustakaan. Tugasku semacam seorang psikolog atau psikiater khusus bagi para buku itu. Begitulah kunci rahasiaku selama ini, tentang bagaimana caraku mendapatkan banyak pengetahuan, juga caraku meredam kebisingan mereka ketika aku masuk ke dalam perpustakaan. Dan sejujurnya, aku suka berada dalam perpustakaan.

Bila keluhan buku-buku itu telah kau dengar, maka mereka akan berbicara lebih tenang. Mereka akan bertutur dengan ramah dan bijak, persis para filsuf. Sosok karakter bijaksana yang juga dituturkan oleh beberapa buku. Begitu pula dengan karakter para nabi—yang juga bijaksana. Namun, aku tak mau mengusik para nabi. Mereka agen Tuhan di bumi, dan aku hanya salah seorang ciptaan ‘sepele’ dari Yang Maha Esa itu. Bukan seorang agen, dan itu membuatku segan. Sementara Tuhan memberikan anugerah unik kepadaku, mampu mendengarkan keluhan buku-buku. Sudahlah, pengetahuanku sempit dan aku hanya setitik noda dalam lembar kain putih yang ukurannya seluas lapangan bola. Aku tak akan membahas hal-hal yang menyangkut tentang Tuhan.

Aku lebih suka memilih hal-hal yang dekat-dekat saja. Seperti apa yang aku dengar dari buku resep masakan khas Sunda yang kuajak berbincang di perpustakaan kali ini. Asal kau tahu, caraku berbincang dengan mereka tak seperti percakapan antara dua manusia pada umumnya. Aku cukup menggumamkan kalimatku dalam benak, dan para buku langsung menjawabnya begitu saja. Hanya aku pribadi yang bisa mendengarnya, sehingga tak pernah menarik perhatian orang lain di perpustakaan. Semua percakapan itu terjadi tanpa kebisingan sama sekali.

Buku resep masakan khas Sunda itu bercerita tentang kegundahan seorang gadis bernama Mariana yang baru saja menikah. Hati-hati kawan, para buku bisa mendengarkan dengan jelas apa yang kaukatakan, meski kau hanya mengucapkan hal itu dalam hati. Mariana—yang sama sekali tak bisa memasak, telah berbohong kepada mertuanya bahwa dia bisa membuat beberapa masakan khas Sunda, sesuai latar keluarga suami dan mertuanya. Demi bisa menyenangkan mertua sekaligus suaminya, dia pun mencari buku resep masakan khas Sunda di perpustakaan.

Timbul secercah harap dalam benak Mariana, bahwa dengan membaca lalu mempraktekkan resep yang tertulis di buku resep yang ada di perpustakaan, dia bisa memasak dengan baik dan benar. Gadis itu berkhayal tentang mertuanya yang tersenyum bangga karena telah memilihnya sebagai menantu. Hal-hal semacam itu. Namun, ada hal yang tak diketahuinya: Tak semua yang tertulis dalam buku resep adalah benar. “Ini bukan soal salah cetak tulisan atau hal-hal semacam itu,” ingat buku resep masakan khas Sunda itu kepadaku.

Bumbu pada masakan bukan sesuatu yang bisa ditakar dengan angka pasti. Ada sebuah rahasia dari para pembuat masakan itu yang mampu menambah lezat setiap masakan. Mereka memasak dengan hati. Selain itu, para koki—tukang masak yang ahli, telah melewati pengalaman memasak sekian tahun lamanya. Mariana berharap menjadi ahli, hanya dengan membaca resep dari buku, lalu memasak begitu saja sesuai apa yang tertulis. Buku resep masakan khas Sunda itu berani bertaruh apa pun, bahwa masakan hasil kerja Mariana pasti tak akan enak, atau bisa jadi tak serupa persis apa yang tertulis di resep.

“Dia tak mungkin mengimbangi kemampuan sang ahli masak yang menuliskan buku resep tersebut begitu saja.”

“Tentu saja tak seperti itu,” sanggahku segera. Kututurkan pendapatku tentang hasil masakan Mariana yang bisa dipastikan termasuk dalam kelas amatiran—tak ada perdebatan soal itu. Akan tetapi, rasa cinta gadis itu yang dibuktikan dengan kesungguhannya untuk mau belajar memasak, rela datang ke perpustakaan untuk mencari buku resep masakan terbaik, tentu akan membuat kerja kerasnya tak sia-sia.

“Aku yakin, sang suami—meski sekadar basa-basi demi menyenangkan hati sang istri, akan memuji hasil masakannya. Pujian sekecil apa pun akan menyenangkan hati Mariana, dan itu adalah hal terpenting dalam konteks ini. Tak usahlah kau skeptis macam begitu.”
Buku resep masakan khas Sunda terdiam kemudian menjawab lirih, “Sebuah buku ditulis dengan objektif, begitu pula sudut pandangku. Aku hanya coba menyampaikan pendapatku saja.”

Aku tersenyum menang mendengar jawaban itu.

“Ada satu hal yang kau harus tahu,” ucap buku resep masakan khas Sunda itu. “Dua hari kemudian, Mariana datang lagi kemari, membacaku lagi dengan teliti.”

Buku resep masakan khas Sunda lalu bercerita bahwa Mariana sibuk membaca tulisan di buku catatan yang dibawanya. “Salinan dari isi perutku. Serupa. Aku pun membaca catatannya itu,” buku resep masakan khas Sunda itu coba meyakinkanku. “Sepertinya, hasil masakan gadis itu tak serupa dengan apa yang dibayangkannya. Mariana langsung mencaci makiku dalam hati! Tak ada orang lain yang mendengar hal itu—tetapi berbeda denganku, aku mendengar semuanya. Ucapannya membuatku sakit hati!”

Aku merasa simpati akan nasibnya yang dicaci sedemikian rupa meski tak salah apa-apa. “Kau punya hati?” candaku, coba menghiburnya.

“Ada, meski tak berwujud!” jawabnya ketus.

Aku tertawa. “Tak usah kau pedulikan hal itu. Mariana termakan bualannya sendiri. Itulah karma. Kau harus melihat kemarahan gadis itu dari sudut pandang yang lain.”

“Maksudmu?” tanya buku resep masakan khas Sunda heran.

“Kegagalan Mariana membuktikan bahwa apa yang kaupikirkan benar adanya. Tak ada yang bisa begitu saja menjadi seorang ahli. Ada proses panjang untuk mendapatkan kemampuan ahli—dalam bidang apa pun, meski kali ini kita sedang membicarakan masakan. Ada kegagalan demi kegagalan yang diderita seseorang sebelum dia meraih keberhasilan sebagai seorang ahli. Semoga Mariana menyadari hal itu.”

“Semoga saja tak ada buku resep lain yang dicacinya,” tambah buku resep masakan khas Sunda, menutup obrolanku dengannya.

Begitulah. Ada saja pelajaran yang bisa kuambil dari perbincangan dengan buku-buku. Lain waktu akan kuceritakan kisah lain yang lebih spektakuler tentang mereka kepadamu. Untuk saat ini, cukup sampai di sini saja. Terima kasih telah membaca kisahku. Sampai jumpa.[]

*Cerpen ini pernah dimuat di koran Pikiran Rakyat edisi 18 Februari 2018. Kritik terhadap cerpen ini bisa dilihat di sini~

Comments

Popular posts from this blog

My Opinion About The Book: "Mata Malam"

My Opinion About The Book: "The Blackside: Konspirasi Dua Sisi"

My Opinion About The Book: "Gadis Pemberontak"