My Opinion About The Book: "Surat yang Berbicara Tentang Masa Lalu"



Judul: Surat yang Berbicara Tentang Masa Lalu
Penulis: Ade Ubaidil
Penerbit: Penerbit Basabasi
Tahun terbit: 2017, Oktober
Nilai (antara 1 sampai 9): 7,9
Cover:

Terima kasih telah tidak setia kepada blog yang tak seberapa ini. Kali ini, dengan penuh semangat kebaharuan (yang gue enggak ngerti bener apa maksudnya), gue bakalan coba mereview sebuah buku kumpulan cerita pendek hasil karya salah satu penulis muda berbakat dari daerah gue sendiri bernama: Ade Ubaidil. Salah seorang kawan yang gue kenal, yang memilih jalan menjadi seorang penulis fiksi sejak beberapa tahun lalu. Gue banyak belajar dari dia, terutama lewat karya-karyanya. Merayakan kelulusannya jadi sarjana, sekaligus dalam rangka ulang tahunnya, blio memberikan salah satu buku kumcer karyanya yang berjudul “Surat yang Berbicara Tentang Masa Lalu”. Mari kita bahas salah satu buku cerpennya ini.

Berisi 18,5 cerpen, buku ini diawali dengan cerpen berjudul “Sepasang Sandal di Pintu Neraka”, satu cerpen yang menurut gue berani menembus batas hidup dan mati. Bercerita tentang adik yang mencari kakaknya di neraka, meminta izin kepada Malik sang penjaga gerbang agar diperbolehkan masuk, eh, ujung-ujungnya si adik mendapat nasib buruk. Ade betul-betul berani menguak tabir situasi neraka yang masih misteri hingga saat ini tentang keberadaannya. Lanjut dengan “Kiai Peci Miring” yang menceritakan seorang kiai dengan tingkah tak lazim yang bikin kesel satu kampung akibat ulahnya. Banyak pesan tersirat, gue sih ngeliatnya sebagai sindiran kepada sosok-sosok yang mengaku ulama yang mengintimidasi dan menghakimi orang lain.

Kemudian ada cerita berjudul “Surat yang Berbicara Tentang Masa Lalu” cerpen yang dijadikan judul buku ini, mengupas kerinduan terhadap ayah, dibumbui sekelumit sejarah tentang peristiwa petrus di era orba. “Kupu-kupu Kematian” menjadi salah satu cerpen yang menarik buat gue, soalnya serada berbau misteri. Gue sendiri emang doyan baca-baca cerita begituan. Dan di akhir cerita ini pun sungguh apik, meski kurang mengejutkan. Ada pula cerpen yang sederhana tentang ditinggalkan dan kepulangan yang mengejutkan dalam “Jejalon Ibu” dan “Sepeda Keranjang dan Pohon Kersen” yang ngingetin gue ke almarhum ibunda. Dua cerita itu mengangkat konflik internal keluarga yang pasti dialami banyak orang. Betul-betul sederhana.

Lalu cerita tentang nasib penulis yang hidup serba kekurangan dalam “Balada Penyair”, juga ada kritik terhadap mereka yang mendaku penulis yang nekat memplagiat karya orang lain dalam “Cerita Tentang Penulis yang Menulis Buku Tip Menulis”. Dua cerita yang mewakili isi hati Ade tentang dunia kepenulisan yang digelutinya. Menurut gue sih ada curhat-curhatnya gitu. Satu lagi, cerpen “Bank Endonesa” yang ditulis dengan cara menghadirkan fragmen-fragmen dialog antar para tokohnya, menurut gue unik dan lucu. Berasa seger, baik secara alur cerita maupun cara penulisannya. Meskipun Ade bukan orang pertama yang melakukannya. Intinya, dari kisah-kisah sendu yang hadir dalam buku kumpulan cerita ini, “Bank Endonesa” berhasil memberi warna lain. Bikin gue ngekek.

Oh iya, kenapa gue bilang di buku cerpen ini terdapat 18,5 cerpen?! Yang 0,5 itu berjudul “Jari dan Cincin” yang isinya dua paragraf aja! Inimah prosa aja, bukan cerpen namanya. Bisa jadi Ade sengaja curhat tentang someone special yang entah pernah hadir di masa lalu, atau bisa saja cerita itu dihadirkan guna berusaha meyakinkan pembaca, termasuk gue, supaya berkesimpulan bahwa ada sosok di masa lalu yang dicintai Ade, atau sebaliknya. Yang jelas, meski cuma dua paragraf, cerdekngets ini menunjukkan kegetiran seseorang yang ditinggalkan kekasihnya dan berjanji untuk tak mau mencintai sosok lain selain si mantan kekasihnya itu. Selain itu, masih ada beberapa karya lainnya yang layak dibaca di kala menikmati teh atau kopi di pagi hari dengan otak segar.

Cerpen-cerpen karangan Ade terasa begitu dekat dengan keseharian gue, mungkin karena gue dan penulis hidup dalam kultur nyaris serupa dalam lingkup satu kawasan Banten, meski beda kota. Apa lagi beberapa ide serupa sempat muncul di kepala gue tentang hal yang sama, kritik terhadap peristiwa sosial yang hadir sehari-hari. Sementara gue hanya mampu menguapkannya sebagai ide, yang syukur-syukur sempat gue tulis dalam status medsos aja, Ade berhasil mengemas idenya menjadi sebuah jalinan cerita yang apik. Bahkan beberapa cerita diselesaikan dengan mencengangkan, hingga bikin gue mikir: Apa iya? Kok, bisa begitu ya? Padahal ide-idenya sungguh sederhana.

Di era teknologi seperti saat ini, penulis-penulis muda seperti Ade Ubaidil amat dinantikan demi menggeliatkan kembali sastra nasional. Dengan medium yang lebih luas, tak hanya lewat buku fisik, cerpen koran, termasuk laman-laman daring, sastra diharap bisa berkembang dengan lebih luas. Para penulislah yang mampu menangkap gejala sosial, dan kemudian mengabadikan apa yang terjadi di masyarakat dengan karyanya. Sebetulnya, paragraf ini seolah-olah berlebihan, tapi memang begitu adanya. Tanpa penulis yang menyadur realita menjadi karya, peristiwa sejarah, budaya yang terdapat dalam masyarakat, sopan santun tutur kata antara anak dan orangtua, bahkan interaksi ringan antar-generasi di suatu kampung, tak akan terdokumentasi dengan baik. Dan generasi yang tidak menghargai sejarah adalah generasi yang punah.

Comments

Popular posts from this blog

My Opinion About The Book: "Mata Malam"

My Opinion About The Book: "The Blackside: Konspirasi Dua Sisi"

My Opinion About The Book: "Gadis Pemberontak"