My Opinion About The Book: "Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu"
Judul: Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu
Penulis: Mahfud Ikhwan
Penerbit: Marjin Kiri
Tahun terbit: 2017, Juni
Nilai (antara 1 sampai 9): 8,3
Cover:
Apakah seseorang
bisa mengenal cinta? Ya, cinta adalah perasaan universal yang bisa dirasakan
siapa saja. Apakah ada orang yang tak mampu mengenal cinta? Mungkin ada. Tapi,
jika memang begitu adanya, berarti dia bukan manusia, melainkan hanya makhluk
yang serupa dengannya. Manusia secara naluriah telah diberi karunia cinta oleh
Sang Pencipta. Kali ini, gue bakalan ngebahas tentang novel bertema cinta yang
tak biasa. Sebuah karya yang berhasil memenangkan penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2017. Karya Mahfud Ikhwan berjudul “Dawuk: Kisah
Kelabu dari Rumbuk Randu” atau bisa kita sebut “Dawuk” saja. Novel ini—seperti
biasanya, gue pinjem dari seorang teman yang bercita-cita membuka perpustakaan.
Semoga cita-cita mulianya itu terkabul. Aamiin.
Warto Kemplung
menyambut di halaman awal novel dengan tingkahnya yang menyebalkan. Bak seorang
preman receh kampung, dia masuk ke warung kopi lantas berkoar tentang sebuah
kisah, yang diakuinya sebagai fakta yang baru saja terjadi di kampungnya. Seorang
lelaki bernasib malang telah tewas di tangan warga kampung Rumbuk Randu yang
tak suka akan kehadirannya. Lelaki itu bernama Mat Dawuk, yang memiliki ciri
fisik begitu rupa hingga membuat orang lain takut, ngeri, bahkan jijik
kepadanya. Sosok yang tak diinginkan bahkan oleh bapaknya sendiri. Warto pun
menuturkan tentang masa kecil Mat Dawuk yang seakan menderita kemalangan yang
tak putus. Hingga nasib membawanya ke Malaysia. Di sana dia bertemu dengan
Inayatun, kembang desa Rumbuk Randu, anak tokoh masyarakat yang dikenal gemar
menggoda kaum pria.
Kisah bak Beauty and The Beast pun terangkai meski
tak sempurna. Janji diikrarkan keduanya. Mat Dawuk seorang pembunuh bayaran di
Malaysia, berjanji untuk berhenti membunuh setelah mengenal Inayatun.
Sebaliknya, sang gadis berjanji berhenti menjadi gadis bengal sejak mengenal
Mat Dawuk. Kemudian mereka menikah dan memutuskan untuk pulang kampung. Warga
desa tampak tak percaya akan pernikahan si buruk rupa dan si jelita. Bahkan,
orang tua Inayatun pun tak sudi menerima Mat Dawuk sebagai menantunya. Namun,
keduanya tetap keukeuh sumeukeuh menjalin cinta. Jelas, keduanya mendapat
perhatian banyak orang. Warga desa terheran-heran pada pernikahan itu. bahkan,
beberapa menganggapnya sebagai kutukan. Hingga kemudian sebuah tragedi menimpa.
Mat Dawuk berlari kencang membelah jalan desa sambil membopong Inayatun yang
berdarah-darah di gendongannya. Apa yang terjadi? Bagaimana kisah selanjutnya? Apakah
Mat Dawuk dan Warto Kemplung orang yang sama? Baca aja sendiri. Hehehe.
Sosok seperti Warto
Kemplung beberapa kali gue liat di beberapa warung kopi (gue biasa menyebutnya
sebagai “warung Kuningan”, karena di daerah gue tinggal, warung kopi dan mi
instan itu identik dijaga oleh seseorang yang berasal dari Kuningan) biasanya
seorang tukang ojek pangkalan sekaligus berprofesi sebagai calo tanah, tak
jarang menawarkan rumah atau kendaraan, plus mengerti soal sepak bola, burung
dan ikan hias, juga kisah-kisah legenda lokal. Bahkan sedikit mengerti tentang
kondisi politik, hingga keadaan ekonomi negara. Sosok-sosok pembual seperti
Warto Kemplung adalah khas yang akan selalu ada dengan sikap sok tahunya,
mendokumentasikan berbagai tingkah polah warga sekitar maupun peristiwa yang
terjadi di sekelilingnya. Sosok seperti itu akan selalu ada dan berlipat ganda
jikalau semakin hari semakin sedikit saja pekerjaan yang bisa didapat.
Ada korelasi di
sana? Ada. Kemiskinan yang diakibatkan oleh menganggurnya seseorang, membuat
seseorang itu lebih memperhatikan nasib orang lain, baik yang lebih beruntung
ataupun yang lebih apes darinya. Kalo orang lain itu bernasib beruntung, si
penganggur akan mencibir, iri, hingga curiga atas keberuntungan orang tersebut.
Tak jarang mengomentarinya dengan buruk sangka. Jika lebih apes darinya, dia
akan menertawakannya. Kedua nasib manusia ini akan disemestakan kepada
khalayak, karena siapapun memiliki naluri keingintahuan yang tinggi akan nasib
orang lain. Jika orang lain itu tetangganya, maka keingintahuan itu menjadi
berlipat ganda. Layaknya kemiskinan, ngomongin orang pun udah jadi budaya. Begitulah
sosok pengangguran seperti Warto Kemplung mempertahankan eksistensinya. Eh, jangan
dianggap kalangan orang berada enggak doyan ngomongin orang. Bergosip adalah
nama yang disematkan pada aktivitas suci nan mulia itu. Peran Warto Kemplung
diambil alih oleh seorang ibu-ibu sosialita.
Entah kenapa,
banyak orang terlalu mudah percaya akan sebuah kabar. Tanpa cek dan ricek yang
semestinya, suatu kabar bisa direspon sedemikian rupa oleh para penerima kabar,
dari mencibir, mencerca, hingga mendera objek yang diceritakan. Mas Mahfud coba
menyindir realita itu dalam novel ini. Warto Kemplung, yang namanya bisa
diartikan secara langsung sebagai berita bohong, menuturkan sebuah cerita
dengan amat meyakinkan sehingga membuat para pendengarnya percaya. Tokoh
jurnalis yang dimunculkan sebagai salah satu pendengar cerita Warto Kemplung di
warung kopi menjadi anomali. Percaya akan cerita si pembual, meski akhirnya sadar
telah mendapati dirinya tersesat dalam labirin kisah tanpa fakta. Penulis pun
coba mengingatkan pembaca agar hati-hati dalam berkata-kata. Apa yang kemudian
dialami Mat Dawuk, berawal dari cerita mulut seorang blandong Hasan yang
mengaku sebagai saksi mata.
Mas Mahfud pun
seolah-olah memberi semangat kepada para jomblo di seluruh pelosok negeri.
Seburuk apapun parasmu, nasibmu, masa lalumu, maupun masa depanmu, kalian masih
bisa mendapatkan gadis yang ayu sebagai pendamping hidupmu. Berdoa sajalah,
nasib kalian tak tragis seperti Mat Dawuk. Hahaha. Maka pantas saja novel ini
dapet penghargaan novel terbaik, banyak hal yang bisa dipelajari di dalamnya.
Tingkah polah warga kampung Rumbuk Randu, budaya, hingga legenda yang
menaunginya, menjadi cerminan apa yang terjadi di suatu desa, yang terekam
dalam memori sang penulis. Novel ini amat sangat layak dipajang di lemari buku,
dan dibaca dikala gerimis menyambut senja. Sepertinya ini tulisan review novel
terpanjang yang pernah gue tulis. Sudahlah. Adios planet putbal.
Comments
Post a Comment