My Opinion About The Book: "Guru Sejati Hasyim Asy'ari"

Judul: Guru Sejati Hasyim Asy’ari
Penulis: Masyamsul Huda
Penerbit: Pustaka Inspira
Tahun terbit: 2014, Maret
Nilai (antara 1 sampai 9): 7,8
Cover:


Gue pernah bahas di review buku yang lalu, kalo enggak salah pas gue review novel tentang Buya Hamka “Ayah...”, dimana gue harap banyak lagi tokoh sejarah yang dibuat menjadi novel. Menurut gue, bentuk novel atau model cerita fiksi lainnya akan mudah merangkul pembaca generasi muda, yang kayaknya anti banget baca buku sejarah versi sekolahan. Pas maen ke toko buku langganan, enggak sengaja nemu novel tentang KH Hasyim Asy’ari – pendiri Nahdlatul Ulama – yang ditulis oleh Masyamsul Huda. Novel ini diberi judul “Guru Sejati Hasyim Asy’ari”, dengan sedikit keterangan yang ditulis di bawah judul: “Pendiri Pesantren Tebu Ireng yang mengakhiri era kejayaan Kebo Ireng dan Kebo Kicak”. Judul yang akhirnya bikin gue membuka dompet dan membayar sejumlah uang di kasir dikarenakan rasa penasaran tentang buku ini.

Novel ini menceritakan awal mula kehidupan desa Sumoyono atau disebut juga desa Cukir sebelum didirikannya pesantren Tebu Ireng, hingga pada awal masa pesantren tersebut berdiri. Desa Sumoyono atau Cukir adalah sebuah desa di wilayah Kabupaten Jombang, yang menjadi lokasi berdirinya pesantren Tebu Ireng. Desa Cukir merupakan lokasi berdirinya pabrik gula milik pemerintahan kolonial Belanda. Nama cukir sendiri konon berasal dari kata “suiker” dalam bahasa Belanda yang berarti gula. Selama pabrik gula tersebut berjalan, lingkungan desa dipenuhi oleh pekerja dan preman yang mengabdi kepada pabrik, yang berbuat semena-mena kepada warga sekitar. Selain itu, banyaknya pekerja dan preman, menjadikan desa Cukir sebagai lokasi tujuan hiburan malam yang penuh maksiat dan tindak kriminal.

Tokoh utama dalam novel ini sendiri adalah Kiai Sakiban, seorang ulama yang pada saat itu dikenal sebagai dalang, yang biasa berdakwah dengan menggunakan media wayang di akhir abad ke-19. Kiai Sakiban merupakan sosok yang juga berperan dalam proses berdirinya pesantren Tebu Ireng, disamping tentu saja, KH Hasyim Asy’ari itu sendiri. Kiai Sakiban sangat geram dengan apa yang terjadi di desa Cukir. Akan tetapi, sulit untuk memperbaiki kondisi desa tersebut selama pabrik gula milik Belanda masih berdiri kokoh disana. Pemerintahan Belanda sengaja memanfaatkan preman untuk mengamankan pabrik dari serangan warga dan para ulama yang tidak sepakat dengan adanya pabrik gula, yang membuat keadaan desa jadi penuh maksiat.

Keresahan Kiai Sakiban inilah yang akhirnya meminta KH Hasyim Asy’ari yang baru saja pulang dari Mekkah, untuk membantunya menyelesaikan masalah di desa Cukir. Solusinya, lahirlah sebuah pesantren Tebu Ireng yang diharapkan akan menarik minat warga, sekaligus menjauhkan mereka dari perbuatan tercela. Banyak hambatan yang terjadi dalam proses pendirian pesantren, mulai dari kecurigaan pihak Belanda, juga konflik antara kalangan internal pesantren dengan para preman yang bertugas mengamankan pabrik. Bagaimana akhirnya? Baca sendiri dong novelnya. Hehehe.

Novel ini memberikan referensi baru mengenai sejarah berdirinya Tebu Ireng. Sebuah referensi yang dituliskan oleh penulis yang juga merupakan bagian dari keluarga besar pesantren Tebu Ireng itu sendiri, sehingga hasil karyanya terasa valid. Disajikan dengan versi fiksi, sebuah bacaan sejarah menjadi terasa lebih ringan, yang gue yakini cerita aselinya lebih menegangkan dari apa yang dituliskan. Pasti lebih berat lah. Terima kasih buat mas Masyamsul Huda yang telah menceritakan sebuah kisah sejarah lewat karyanya ini. Memang buku ini hanya secuil dari kisah perjuangan KH Hasyim Asy’ari, dimana beliau selain mendirikan pesantren Tebu Ireng, kemudian mendirikan salah satu ormas Islam terbesar di negeri ini, beliau juga berperan besar dalam perjuangan bangsa ini melawan penjajahan. Semoga review gue bermanfaat.

Comments

Popular posts from this blog

My Opinion About The Book: "Mata Malam"

My Opinion About The Book: "The Blackside: Konspirasi Dua Sisi"

My Opinion About The Book: "Gadis Pemberontak"