Pekerjaan Rumah Bang Doel (Catatan Lanjutan)
Balik lagi di blog
gue guys, gimana kabarnya? Mudah-mudahan kita semua berada dalam keadaan sehat
dan berada dalam lindungan-Nya.
Hari ini gue bakal coba terusin tulisan tentang Banten yang di Agustus 2015 ini resmi memiliki gubernur baru yang definitif. Setelah
lebih dari satu tahun bang Doel menjabat sebagai Plt. Gubernur, 12 Agustus lalu
akhirnya ia dilantik Presiden di Istana, plus gratis nonton pelantikan beberapa
menteri baru. Bisa sekalian komunikasi tuh harusnya. Dikit-dikit sok akrab lah
sama menteri, biar Banten dapet perhatian. Mudah-mudahan sih kemaren bang Doel
bertindak demikian.
Ada yang komentar –
meski engga langsung di bawah tulisan yang gue bikin – soal pelantikan gubernur
Banten yang baru, soal tulisan gue kemaren yang hanya berisi argumen tanpa
makna. Yah, gue sih mengakui memang seperti itu apa adanya. Gue hanya coba
ngingetin ke banyak orang lewat tulisan gue, bahwa ada aktivitas lain yang
terjadi di Istana berbarengan dengan pelantikan menteri baru. Cuma itu aja kok.
Soal data terkait
kondisi banten kekinian, tentang kemiskinan, data penduduk, pengangguran, data
kesehatan, berita kerusakan infrastruktur, kekurangan gizi, dan lain-lain,
sebetulnya sudah disinggung oleh banyak tulisan-tulisan yang mengkaji Banten
secara mendalam. Waktu kemaren pun sangat singkat, toh gue nulis cuma ngisi
kekosongan sambil nunggu temen doang. So, tulisannya enggak disertai data-data
valid seperti yang mungkin diharapkan para pembaca. Makanya kemaren gue pikir
tulisan gue itu ya hanya pendapat gue, sebagai salah satu warga Banten yang
juga merasakan bagaimana kondisi provinsi di ujung barat pulau Jawa ini secara
real.
Pengalaman yang
mungkin bisa gue sharing tentang kondisi Banten saat ini adalah tentang minat
baca warga Banten yang sangat rendah, ini terjadi di berbagai kalangan yang ada. Selama gue
hidup dan besar di Banten, sedikit sulit untuk mencari kawan yang senang
dengan yang namanya kegiatan membaca. Selama bergaul dengan beberapa tingkatan
mahasiswa, sedikit saja mahasiswa yang benar-benar memiliki minat baca. Itu
dikalangan yang katanya intelek loh, gimana di lingkungan pasar, sawah, atau wilayah
desa pelosok Banten?!
Permasalahan minat
baca ini yang akhirnya membuat toko-toko buku besar kayak Gramed** enggak minat
buat buka cabang disini. Hal yang bikin gue sedih. Faktor pendidikan
masih menjadi pendorong utama minimnya minat baca. Beberapa tahun lalu
pemerintah Banten juga giat memberantas buta aksara, bekerja sama
dengan salah satu universitas negeri di Banten melalui kegiatan pengabdian
masyarakatnya. Rendahnya tingkat pendidikan menjadi salah satu alasan rendahnya ketertarikan untuk membaca.
Banten dikenal sebagai provinsi yang agamis, sebuah provinsi yang berlatar sejarah
sebuah kesultanan besar, dimana salah satu ulamanya bahkan pernah menjadi Imam yang
dihormati di Mekkah sana. Hal ini membuat Banten jadi salah satu tujuan
masyarakat Indonesia secara umum, untuk belajar tentang Islam. Pesantren banyak
ditemui dimana-mana di Banten ini. Para santri, ustadz, kiyai, banyak ulama, getol menghafal
Al-Qur’an. Seharusnya minat baca otomatis terdorong dengan adanya minat yang tinggi
dalam mengaji. Akan tetapi, pada kenyataannya masih terdapat dikotomi antara
pendidikan agama dengan pendidikan umum. Minat belajar Islam tidak serta merta dibarengi
dengan minat membaca buku-buku ilmu pengetahuan lainnya.
Masyarakat menilai
pendidikan agama merupakan hal utama, sementara pendidikan umum kayaknya sih enggak
penting-penting amat. Wajar aja sih banyak orang kok yang masih beranggapan seperti itu. Tingkat
kesejahteraan rendah dalam sebuah keluarga misalnya, akan menjadikan pendidikan
sekolah bukan sebagai prioritas utama. Kita sendiri tahu tentang biaya
pendidikan yang semakin tinggi setiap tahunnya. Meskipun pemerintah sudah
memberikan berbagai dana untuk menekan biaya pendidikan, akan tetapi hal
tersebut akhirnya mengorbankan mutu pengajaran di sekolah. Banyaknya bangunan
sekolah rusak menjadi imbasnya, etos kerja guru dalam mengajar pun lesu, juga
beberapa praktek pengajaran yang akhirnya tak bisa dilakukan karena kurangnya
fasilitas sekolah, menjadi faktor penghambat majunya dunia pendidikan.
Belajar agama
memang hal yang paling utama, itu adalah sebuah keniscayaan. Sekolah berbiaya
mahal, dibandingkan dengan belajar
mengaji yang bisa dilakukan di rumah, surau, atau pesantren salafi yang minim budget,
membuat orangtua di Banten memilih salah satu dari dua hal yang sama-sama penting
tersebut. Namun, hal yang mesti diingat bahwa perintah yang didapatkan
Rasulullah SAW pertama kali saja adalah Iqra, artinya: bacalah. Seharusnya
siapapun yang belajar agama dengan baik, memahami hal ini. Baca kitab, baca
buku, baca situasi, baca strategi, baca semua yang bermanfaat, agar bisa
meningkatkan kualitas diri. Karena orang yang memiliki pemahaman tentang banyak hal, akan ditinggikan derajatnya oleh
Allah SWT, gue sendiri ngerasain hal tersebut. Nanti deh gue sharing soal itu
di tulisan lainnya.
Balik lagi ke pokok
pembahasan tentang minimnya minat baca di Banten. Kenapa hal ini gue coba
kemukakan menjadi faktor penting yang harus disikapi bang Doel, karena ini terkait dengan dokumentasi tentang Banten itu sendiri.
Lihatlah Yogyakarta yang dikenal dengan julukan kota pelajar. Tingginya
minat baca kota gudeg tersebut, kemudian melahirkan tingginya minat menulis. Akhirnya, Yogyakarta
menjadi pusat khasanah karya tulis di berbagai bidang. Perkembangan Yogyakarta
pun kemudian terdokumentasikan dengan baik. Bandingkan dengan Banten, dimana
sejarah Banten sendiri tidak terdokumentasi dengan baik. Coba deh cari, dimana
buku-buku lama atau tulisan yang mengupas tentang Banten, pasti bakalan susah dicarinya.
Kultur ini yang
harus diubah. Minat baca yang meningkat akan melahirkan generasi yang
mempunyai sudut pandang baru dalam menatap berbagai aspek kehidupan, apa lagi
jika digabungkan dengan kultur Banten yang Islami. Banyaknya referensi bacaan akan menjadi pisau analisa yang ujungnya memberikan kemajuan bagi rakyat Banten itu sendiri. Beuh, gue yakin orang Banten
pada bisa maju. Kesejahteraan yang menjadi impian para pembentuk provinsi
Banten akan bisa terwujud.
Memang hal ini tidak mudah, enggak semudah ngebalikin piring tetangga. Jika tidak dimulai
sekarang, kapan lagi momentum perbaikan Banten ini dimulai?! Kuncinya adalah
dari kebijakan bang Doel sebagai gubernur baru. Ingat, derajat orang yang
memiliki pendidikan akan ditinggikan, secara otomatis kesejahteraan bisa dicapai. Ketika kesejahteraan
masyarakat Banten tercapai, toh pemerintahannya pula tak akan lepas dari
pujian.
Oh iya, dengan
tingkat pendidikan rendah, gue sendiri enggak pernah menganggap masyarakat
Banten ini kurang pintar. Gue yakin, orang yang lahir dan besar di Banten ini
pinter-pinter kok. Mata uang pertama di bumi nusantara, ada di kesultanan
Banten. Bukti bahwa di masa lalu Banten mampu berbuat banyak dalam perkembangan
bangsa. Sarjana hukum wanita pertama di nusantara aja orang Banten, ulama besar di
Masjidil Haram juga salah satunya orang Banten, pemerintah darurat republik ini
dipimpin oleh orang Banten, tinggal kesempatan aja yang belum nyolek generasi
muda Banten saat ini untuk menjadi yang terbaik di bidang keahliannya. Biarlah
waktu yang tentukan.
Salah satu
pekerjaan rumah bang Doel ya mempercepat realisasi dari hal yang gue sebutin di
atas. Meski di akhir kalimat gue bilang biarlah waktu yang tentukan, kebijakan
gubernur juga mempengaruhi lambat dan cepatnya waktu menuju terwujudnya
masyarakat Banten yang lebih maju daripada saat ini. Jangan sampai Banten ini
cuma dikenal kleniknya aja. Semoga hal ini menjadi bahan pertimbangan bagi
siapapun yang peduli dengan kondisi Banten. Dari diskusi bergerak menuju
perubahan...
*Strike Anywhere -
Infrared*
Comments
Post a Comment